Karya seni pada umumnya adalah perkawinan atau pergulatan antara pikiran dan perasaan seniman yang subjektif dengan realitas objektif yang ada dalam kehidupannya. Subjektifitas seniman muncul disebabkan pilihan hidup yang dibentuk oleh lingkungan seniman itu sendiri. Sementara objektifitas hadir dalam realitas manusia tanpa bisa dinafikan. Pergulatan inilah yang menjadikan karya seni itu bermakna.
Melalui bukunya, The Anatomy of Drama, MartinEsslin dalam salah satu risalahnya menyatakan bahwa kandungan masalah yang terdapat dalam teater modern makin lama akan semakin komplek. Teater masa kini, seiring dengan melajunya peradaban umat manusia tidak hanya berbicara seputar nasibnya, moral dan kekuasaan seperti pada zaman Yunani kuno, melainkan sudah semakin terfokus pada masalah-masalah yang lebih spesifik seperti bahasan politik, ekonomi dan hubungan antar manusia secara individu. Pada akhir abad ke-19, muncul teater modern yang diakibatkan oleh keraguan manusia terhadap kebenaran-kebenaran dari nilai-nilai yang hadir di tengah masyarakat. Padahal manusia itu sendiri dapat menciptakan peradaban baru dengan nilai-nilai yang baru pula.
Teater modern sejak munculnya mulai berkembang di seluruh daratan Eropa dan kemudian menjalar ke Amirika Serikat serta bagian dunia lainnya. Sedangkan absurditas dalam teater muncul setelah perang dunia II dan merambah seluruh dataran Eropa. Bentuk teater ini menolak untuk digolongkan kedalam aliran-aliran yang sudah ada dan lebih memberi perhatian pada sisi kemanusiaan.
Albert Camus, salah seorang yang paling fasih menjelaskan absurdisme menyebutkan bahwa manusia absurd ialah manusia yang disatu pihak menyadari keinginannya untuk hidup dalam ketertiban, dilain pihak menyadari pula bahwa alam semesta tidaklah tertib. Di satu sisi iamendambakan rasionalitas, di sisi lainbahwa alam semesta tidaklah rasional;hatinya penuh pertanyaan bilaberhadapan dengan alam semestayang bisu; hasratnya yang menggapai-gapai makna hanya menangkap ruangyang kosong tanpa makna.Ditambahkan oleh Camus bahwamanusia hidup tidak bahagia dan ia(kemudian) mati. Manusia tidak tahuuntuk apa ia menderita dan mati. Nasib manusia yang seperti itu tidakbisa lain kecuali bersifat konyol alias Absurd.
Absurditas dalam konsep Albert Camus tersebut memiliki kemiripan dengan konsep Chaos yang ditulis Ziauddin Sardar dan Iwona Abrams yang menjelaskan bahwa Chaos menarik karena ia menghubungkan pengalaman sehari-hari manusia dengan hukum-hukum alam dengan cara mengungkapkan kaitan sama antara manusia kesederhanaan dan kompleksitas serta antara keteraturan dan keacakan. Chaos menampilkan sebuah semesta yang pada suatu saat deterministik dan mematuhi hukum-hukum fisika dasar, namun berpotensi untuk menjadi tak teratur, kompleksdan tak teramalkan. Banyak naskah-naskah teater yang berbicara tentang tokoh yang hidup dalam pertentangan keinginan, antara keinginan manusia terhadap hidup yang tertib dengan keinginan manusia yang irrasional. Terdapat tokoh sebagai raja sudah terbiasa dengan kalimat-kalimat perintah dan ini merupakan wujud dari otokrasi kekuasaan, menginginkan dirinya diperintah yang merupakan wujud irrasional dalam otokrasi kekuasaan. Hal ini merupakan kekonyolan-kekonyolan dari keinginan manusia yang kadangkala tidak rasional. Seperti juga sering tanpa sadar muncul sosok lain dalam diri kita bila kita mau jujur. Kita acap merasa bukan diri kita pada waktu-waktu tertentu. Nah, tokoh absurditas dalam naskah teater akan terlihat bahwa manusia pada sisi tertentu memiliki keinginan yang tidak masuk akal dan menunggu sesuatu yang tidak jelas. Dalam kehidupan sehari-hari sering terlintas keinginan yang sama dengan menuntut sesuatu yang tidak jelas sebagai wujud dari keinginan manusia secara umum yang juga kadang-kadang tidak jelas. Dalam pandangan filsafat absurd, memang tidak ada yang dapat dicapai atau ditunggu dalam alam semesta yang irrasional. Oleh karena itu maka keinginan yang terlintas sesaat hanya semata-mata hendak pergi melanglang buana dalam jagad pikiran yang aneh. Jagad pikiran tersebut tidak jelas mau bermuara kemana. Akan tetapi absurditas memang mengarah pada sesuatu yang tidak jelas, yang dipentingkan adalah masalah bukan menyelesaikan masalah.
Karya absurd seperti Samuel Beckett dan Eugene Ionesco, menarik perhatian kita untuk lebih merenungkan makna hidup, dengansebuah pertanyaan sederhana; makn aapa yang akan kita berikan pada hidupkita ini? Benny Yohanes mengatakan bahwa menjadi aktor adalah usaha memaparkan hakikat sebuah kejadian. Dalam teater kejadian-kejadian itu terutama di ekspresikan melalui kata-kata. Kata-kata adalah bentuk pengabdian dari suatu kejadian. Karena itu, tantangan yang paling prinsipil bagi aktor teater adalah kesanggupannya untuk merawat kata-kata yang mengungkapkan emosi abadi yang termuat di balik kata-kata. Lalu bagaimana dengan kita, pengalaman empirik yang sering disebut dejavu atau hal lain yang senada dengan itu. Sudah siapkah para teaterawan di Aceh untuk menyelami pikiran-pikiran konyol dalam teater? Tentu saja dengan kemasan yang layak dan dapat dicerna oleh masyarakat penonton. Meski pada sisi lain, teater seharusnya mampu mencerdaskan penonton lewat tontonan yang tidak hanya menyuguhkan persoalan kelucuan semata. Nilai pesan jauh lebih penting ketimbang hanya berkutat pada kelucuan yang sebenarnya tidak lucu. Paling tidak para teaterawan Aceh jangan sampai terjebak pada ke-dangkalan berpikir sehingga tidak terjadi adaptasi yang mentah terhadap naskah-naskah dari barat. Meskipun begitu, ada usaha untuk mencoba belajar lewat naskah-naskah yang mampu mencerdaskan aktor, sutradaradan tentu saja, penonton di Aceh.
Salam
SPARTA