Bab VI: Ahli Sunnah dan Jama’ah
Bertentangan dengan paham qadariah yang dianut kaum mu’tazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka mu’tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baharu dan diciptakan.
Kaum mu’tazilah dalam sejarah memang merupakan golongan minoritas. Dengan demikian kaum Mu’tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula golongan yang tidak kuat berpegang teguh pada sunnah. Mungkin inilah yang menimbulkan term ahli sunnah dan jama’ah, yaitu golongan yang berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan mu’tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang teguh pada sunnah. Bagaimana pun yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama’ah di dalam lapangan teologi Islam dan dalam kaum Asy’ariah dan kaum Maturidi.
Literatur mengenai ajaran-ajaran Abu mansur dan aliran Muturidiah tidak sebanyak literatur mengenai ajran-ajaran Asy’ariah. Sama dengan al-Asy’ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu’tazilah al-salah wa al-aslah, tetapi disamping itu Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu.
Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiah terdapat dua golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepda paham mu’tazilah, golongan Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat al-Asy’ari. Aliran Maturidiah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mahzab Hanafi. Berikut tabel mengenai beberapa perbedaan paham antara aliran Mu’tazillah dan Ahli Sunnah wa al jama’ah al-Asy’ariyah:
NO Paham Mu’tazillah pada Umumnya Paham Ahli Sunnah wa al jama’ah al-Asy’ariyah
1 Tuhan tidaklah memiliki sifat, kecuali qadim,selain sifat tersebut maka sejatinya adalah zat Tuhan. Tuhan memiki sifat, mustahil Tuhan mengetahui dengan zat-Nya, karena dengan demikian zat-Nya adalah pengetahuan (‘ilm) padahal sesungguhnya Tuhan itu Yang Mengetahui (‘Alim).
2 Mereka berpendapat bahwa al-Quran bukanlah qadim atau kekal, tetapi hadis dalam arti baru dan diciptakan Tuhan. karena kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Al-Qur’an tidaklah diciptakan, sebab kalau ia diciptakan maka perlu kata kun,dan untuk terciptanya kata kun maka perlu kata kun yang lain dan begitu seterusnya. Sehingga tidak mungkin Quran diciptakan.
3 Ada ulama dari golongan mereka yang mengatakan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat manusia dengan mata kepalanya di akhirat kelak. Tuhan dapat dilihat diakhirat kelak, krena sifat yang tidak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat yang membawa arti kepada diciptakannya Tuhan. sedangkan dapat dilihatnya Tuhan tidaklah membawa pada sifat diciptakannya Tuhan.
4 Perbuatan-perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia sendiri, karena mereka berpaham qadariah. Perbuatan-perbuatan manusia bukanlah diwujutkan oleh manusia sendiri, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
5 Mereka berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mungkin serupa dengan makhluk-Nya atau menolak paham yang dikenal dengan anthropomorphism itu. Dalam hal anthropomorphism al-Asy’ari menggambarkan Tuhan memiliki muka, tangan, mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kayfa) yaitu dengan tidak memiliki bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
6 Megembangkan paham al-‘adl dan al-Wa’d wa al-Wa’id. Dalam artian Tuhan selalu dituntut untuk melakukan hal-hal yang baik. Menolak paham al-‘adl dan al-Wa’d wa al-Wa’id, karena Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada satupun yang wajib bagi-Nya.