Suatu sore, pertengahan 2015 di Divisi Pertukangan Ateneo de Manila University, aku dan Maya Mizuno duduk berdua. Aku dan perempuan asal Jepang itu kerap menghabiskan waktu istirahat kuliah disitu untuk merokok.
"Kawan yang baik berbagi racun," ujarku bersambut tawa renyah yang membuat matanya tampak makin menyipit.
Kalimat itu lahir dari pergaulanku dengan Alex Cobain, putra Negeri Breuh Sigupay, Blangpidie. Aku tak ingat pasti, entah aku atau Alex yang pertama mengungkapkannya.
Cuma di bengkel pertukangan kampus itulah tempat yang boleh merokok dalam pagar kampus. Di tempat lain dalam lingkungan kampus, tiap perokok akan mendapat ganjaran denda 1000 Peso, setara 300 ribu rupiah.
Maya adalah pemikir, meski saat menarikan alunan musik house, ia mampu mendobrak gejolak di antara pangkal kaki tiap lelaki. Di tengah party kecil yang kami gelar tiap midtest usai, Maya kerap menatap kosong ke arah kawan-kawan yang telah tenggelam dalam pelepasan penat bercampur uap brandy atau buih bir dalam darah mereka.
"You looks like a Phillosopher in the middle of any party we make. Even while you're dancing though..." ujarku menginterupsi permenungannya. Ia cuma membalas pernyataanku dengan seulas senyum.
Aku ingat malam itu. Malam saat pertama kali kulihat ia menari di antara dentam musik house di lantai teratas sebuah apartemen seputar Marikina City. Istriku telah kembali ke Aceh saat itu. Tubuhnya meliuk, menggeliatkan setiap gejolak yang bersemayam penuh ledak dalam tubuhnya. Tatapan 25 pasang mata terpana, lelaki-perempuan terpesona menyaksikannya. Sensasional, sensual, berseni, indah dan menggetarkan. Tapi aku masih melihat sebuah perenungan nan dalam di matanya saat hadirin lain menganga... Setiap gerak-geliatnya lahir bersamaan dengan pemikiran sedalam Palung Mariana.
"Aku sering memikirkan Tuhan dan keyakinanku pada Tuhan," ujarnya. Ia bicara menjabarkan pikiran. Maya beranggapan bahwa tiap agama punya Tuhan masing-masing. Aku membantahnya, berupaya memenangkan argumen dengan intonasi selembut coklat Finland pemberian Peter dan sehangat angin pantai Babah Dua jam 10 pagi di bulan Maret.
"Jika Tuhan sama jumlahnya dengan agama, aku jadi curiga, jangan-jangan konflik antar-manusia yang berlatar persoalan agama adalah konflik antar-Tuhan... Jika demikian, Mereka, para Tuhan itulah, yang mendorong manusia bertikai" penjelasanku disambut ekspresi 'Aha!' di wajahnya.
"Wah... betul-sangat itu!" sambarnya sambil menghisap dalam Marlboro putih di tangannya secara terburu.
"Kau harus jelaskan kelanjutan argumentasi itu, Diyus... itu menarik-sungguh..."
"Begini... mulanya aku juga berpikir salah. Kukira manusia, dengan beragam agama juga punya Tuhan masing-masing. Bedanya, saat itu kupikir agama dengan penganut terbanyak akan memiliki hak atas surga sebagai puncak kenikmatan hidup sesudah mati. Tapi pikiran itu segera terbantah karena dalam agamaku, Tuhan menciptakan surga. Jadi segera muncul pikiran lain; tiap Tuhan dari tiap agama mampu menciptakan surganya masing-masing?! Nah... jadi aneh, 'kan?! Kalau memang punya surga masing-masing, kenapa mesti ribut antar-agama?!"
Uraianku membuatnya melongo tapi tak mampu menutupi rasa penasaran dan tak sabarnya.
"Terus... terus..." desaknya.
"Semua konflik agama jadi tampak aneh bagiku," kalimatku menggantung karena sebuah hisapan rokok. Maya makin tampak tak sabar karena ia menyedot rokok filter di antara lentik jemarinya 3 kali.
"Aku merasa aneh karena semua agama menjanjikan surga atau kata lain yang menggambarkan kenikmatan sebagai imbalan amal ketika hidup. Jadi kupikir, kesamaan imbalan Tuhan atas amal manusia berasal dari 1 sumber. Tuhan. Namun, karena representasi Tuhan di bumi tak dapat dijabarkan secara ilmiah, lahirlah upaya interpretasi nilai Tuhan, sebuah kesadaran yang membentuk agama. Ironisnya, interpretasi nilai Tuhan di tangan manusia juga membuka peluang manipulasi nilai Tuhan. Kuasa teritorial dan kuasa modal berkepentingan untuk memanipulasi dan memonopoli nilai Tuhan. Agama sebagai interpretasi Tuhan tak luput dari manipulasi berlandas kepentingan kekuasaan. Bisa kekuasaan politik juga bisa kekuasaan ekonomi."
Aku menjepit lagi rokok di antara bibir, menyesap nikmat kombinasi alam dengan kreasi seorang manusia di masa lalu. Seseorang yang sangat kuingin jumpa sebab isengnya menciptakan rokok telah beredar mewarnai zaman; seperti agama dan tiap wujud rasa penasaran atas Sang Pencipta.
Maya tampak begitu kecanduan atas kelanjutan penjelasanku. Aku memberi jeda panjang padanya untuk mencerna sambil menyulut batang rokok ketiga Winston merahku.
"Jadi, setelah kukaji, manusia -tanpa sadar- telah menginterpretasi 2 jenis Tuhan; interpretasi Tuhan Politik dan interpretasi Tuhan Sejarah. Tuhan Sejarah adalah interpretasi Tuhan yang diperkenalkan secara turun-temurun melalui agama. Sementara interpretasi Tuhan Politik adalah asumsi dan manipulasi nilai Tuhan untuk menciptakan kepatuhan kolektif, bahkan eksploitasi komunitas agar tunduk-pasrah pada kekuasan yang mengatasnamakan-Nya."
Ia nyaris tak bernapas saat mendengar uraianku. Aku sedih karena tak ada bantahan darinya. Tubuhnya terpacak di gelondongan kayu yang kami duduki.
"Wowww...!!!" cuma suara itu yang kudengar melompati bibirnya yang berkilau, bersaput lipgloss berwarna fantasy. Perasaanku jadi tak sedap sebab kami tampak seperti guru-murid.
"Jadi menurut kau bagaimana?" pertanyaannya memecah kesan keterpesonaan.
"Semestinya, manusia mengejar bentuk interpretasi Tuhan kategori ketiga," ujarku sambil menghempaskan asap rokok.
"Tuhan apa itu?" ia tampak makin geregetan dan tak sabar.
"Bukan Tuhan, tapi anggapan tentang Tuhan. Itu 2 hal yang berbeda," ujarku mengoreksi.
"OK... OK... OK..." katanya masih dengan ketidaksabarannya yang tampak begitu telanjang di mataku.
"Aku menyebutnya interpretasi Tuhan Alam. Tuhan yang sesungguhnya menciptakan segala. Tuhan yang tak dijadikan cambuk penguasa saat memperkuda Rakyat. Tuhan yang tak bisa diatasnamakan untuk melegitimasi penghisapan manusia atas manusia."
"I'm totally agree with your thought..." ujarnya dengan paras puas.
"Eit... tunggu dulu... jangan percaya semudah itu. Engkau yakin aku tak sedang mengeksploitasimu?" tanyaku.
"Semua yang kujelaskan tadi tak lebih dari ekspresi ke-soktahuan-ku tentang Tuhan. Sebab aku tak pernah bertemu langsung dengan Tuhan. Demikian juga orang-orang yang memberiku pengetahuan tentang keberadaan-Nya," pungkasku berbalas senyumnya yang penuh pengakuan. Aku memberi tanda padanya untuk kembali ke ruang kuliah. Roberta Marie Sabido sudah menanti kami di Leon Hall untuk menyampaikan kuliah hari ini.
Sambil melangkah menuju ruang kuliah, ia sempat berujar, "Ternyata manusia bertikai cuma untuk memperebutkan perhatian dari Tuhan yang sama," ujarnya lirih.
Mata kami bersitatap saat kalimatnya berakhir. Aku mengangguk dan segera mengalihkan pandang, menghindari magnet yang paling kutakuti dari mata tiap perempuan di luar garis darah.
Berkali-kali saya baca, berkali kali pula ingin membacanya lagi. Dan memang, Tuhan kita masih Tuhan yang sama!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Syukurlah, Bung...
Semoga bisa cepat hapal, ya...
Hehehehehehe...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
dalam kali narasi abang ini
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sedang belajar, Bang...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
valhala yang terbuka.... lucifer yang tertawa... hitam di atas putih.
putih bercampur darah, spesifikasi hidup hanya timbulkan luka...
ILLUMINATI 666
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Meski komentar ini belum bisa kupahami, terimakasih sudah singgah di lapak ini, Bro...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
setelah saya membaca postingan ini sy mencoba menerawang dan membayangkan sosok karakter penulisnya... pastinya dia adalah seorang yang sangat kenyang pengalaman hidup terang dan redup... salam hormat tak terhingga... saluuuttt
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sudah tepat menjadi filsuf.... Good writing
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Filsuf magang, Bang...
Hehehehehehe...
Sebuah kebahagiaan Abang bersedia singgah di lapak ini. :)
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Masih dengan cerita kakak maya mizuno itu juga rupanya, ya.. hehehe.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Sementara menunggu datang ilham baru.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Tulisan yg menggugah
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Brijin, Bang...
Semoga coretan iseng ini menghibur...
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Iseng lagu ini turah Gati tulis ko hehehe
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
@originalworks
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit