"Buatlah Indonesia dan dunia tersenyum, maka saya akan tersenyum untukmu," pesan seorang sahabat, Pelangi dari Timur.
"Meski saya bekerja, pikiran saya tetap memikirkanmu. Teruslah berjuang, kita harus menang, ubah dan perbaiki semua sistem yang salah," kata sahabat saya yang lainnya, Lelaki Berhati Baja.
Air mata haru pun tak terasa meleleh, sungguh bahagia memiliki sahabat-sahabat yang selalu dipenuhi dengan cinta dan kasih sayang bagi bangsa dan negara. Mereka tak pernah henti memberikan dukungan dan berjuang bersama-sama meski di tempat dan dengan cara yang berbeda. Keinginan dan keyakinan yang begitu kuat mengalahkan ragu dan takut. Tak ada yang tak mungkin bila Allah berkenan memberikannya.
Teringat masa-masa ketika rasanya perjuangan itu begitu berat, tidak ada yang percaya dan bahkan menganggap segala pikiran yang saya miliki hanyalah omong kosong dan khayalan semata. Ketika semua masih terjebak dalam euphoria reformasi yang saya pertanyakan dengan keras. Bahkan tak sedikit yang menuduh saya adalah antek pendukung Orba, mereka tak mengerti bahwa ada banyak hal yang terjadi di balik kegembiraan reformasi. Mereka tak paham betapa saya sebagai mahasiswa yang meski sedang di luar negeri tak rela bila mahasiswwa hanya dijadikan objek untuk mengelabui apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan dilakukan.
"Tidak akan ada perubahan yang lebih baik, sebab reformist ini tidak memiliki strrategi dan sistem yang lebih baik. Kebanyakan hanya jago teriak, namun tak mengerti bagaimana mengatur negara dengan cara yang lebih baik dari Orba, dan bahkan tidak tahu apa yang seharusnya dilakukan. Terbuai dengan globalisasi dan konspirasi politik luar negeri, tanpa menyadari apa itu semua. Paham apa the new world order? Paham apa itu globalisasi? Demiliterisasi dengan mencoba menghancurkan kekuatan TNI, menghancurkan dwi fungsi ABRI, tidak akan menjadi solusi perubahan menuju negara yang lebih demokratis, sebab mafia-mafia yang memiliki uang banyak akan lebih berkuasa. Negeri ini akan kehilangan kehormatannya dan politik akan memburuk sebab akan diisi oleh para politikus pragmatis yang tak paham negara, hukum, dan apalagi bahasa serta sejarah. Mereka hanya lapar uang dan kedudukan, jauh dari keelitan karena memang nggak sanggup menjadi elite meski merasa dan dianggap elite sekalipun. Negeri ini butuh elite politik yang memiliki kemampuan berpikir strategis, bukan yang sok jago dan sok pahlawan! Belajarlah dari Thailand dan Aceh! Kita buktikan!" demikian argumen saya di sebuah acara.
Saya sudah siap dengan kemarahan, terutama mereka yang merasa pahlawan dan sudah paling benar. Apalah saya, hanya seorang perempuan muda yang masih bau kencur dan tiba-tiba mengkritik keras. Ke mana-mana masih pakai rok mini dan sepatu boots, manja ke salon tiap hari, dianggap kaum borjouis, bicara pula soal politik. Tak ada yag percaya pun sayalulusan politik dan sudah pasca sarjana, meski masih belia. Rasanya jengkel sekali selalu dinilai hanya lewat penampilan. Rendah sekali penilaian itu.
Ayah yang memang tempat saya diskusi dan argumen pun marah ketika saya menyalahkan generasinya yang labil. Hanya gaya dengan seolah hebat mengkritik lewat segala karya seni era'60s,'70's, dan '80s seolah benar demokratis dan merdeka. Sesungguhnya masih sangat feodal dan otoriter! Namun tidak memiliki nyali seperti para pendahulu di era perjuangan kemerdekaan. (https://bilikml.wordpress.com/2013/03/24/pelajaran-berharga-dari-era-love-and-peace-60s-70s/)
"Tidak ada perdamaian selama kemerdekaan itu belum berhasil direbut seutuhnya! Kalian generasi pendusta yang telah menghancurkan kami!!! Saya nggak akan berhenti, Papa! Jangan larang saya! Saya bukan bayi yang di ayunan dan saya bukan yang merasa puas diberikan emas dalam setiap suapan! Semua pemikiran ini datang bukan karena saya minta, namun karena memang diberikanNya!!!", demikian teriak saya pada ayah yang membuat beliau marah dan meninggalkan ruangan tempat kami membaca. Hedeh, saya menyesal dan meminta maaf. Tak baik saya seperti itu.
Bahkan ketika saya mulai mencoba memutar balik pemikiran dengan cara yang kontroversial, yaitu lewat mengubah kata "seks" menjadi subjek di tahun 209 pun hanya sedikit yang paham. Lebih banyak yang menganggap ini sebagai sebuah kekotoran pikiran. Permainan politik hermeneutika bahasa terbukti tak dikuasai, dan wajar bila kebodohan terus berlanjut. Sastra cinta dan rindu bagi negeri pun masih dimaknai sebatas cinta dan rindu pada pasangan. Saya sedih dan berpikir terus mencari solusi. Frustasi namun tak ingin menyerah.
Oleh karena itulah, selain karena banyak faktor politik lainnya, setelah tahun 2014 saya memilih diam. Tak ada guna saya bicara karena tak akan mengerti. Persis seperti pengalaman saya di Baduy dalam, memang harus dilempar dulu ke tembok baru paham, itu pun kalau mau. Inilah yang membuat saya juga membagikan lagi tulisan-tulisan lama mulai tahun 2009-2014. Selain awal saya menulis online, juga karena sebenarnya sudah saya jabarkan di sana secara implisit dan tersirat, bahkan yang tersurat.
Ada sedikit kelegaan melihat akhirnya banyak yang mulai menyadari meski harus lewat susah dan derita yang sedemikian dahsyatnya akibat perang antara kekuasaan dan kedaulatan rakyat, antara kebenaran dan kepalsuan, antara yang tamak dan yang memiliki. Yah memang terlambat namun semua selalu ada masa dan waktunya. Setiap keburukan dan masalah bukan ujian tetapi cara Allah untuk mendidik dan mengajarkan kita untuk lebih baik. Mereka yang yakin dan percaya akan terus berjuang, mereka yang lemah hanya akan larut dan hanyut oleh arus.
Sekarang saya tak sendiri, ada banyak sahabat dan teman seperjuangan yang tak kenal lelah, tulus, dan ikhlas. Saya sangat senang dan terharu. Allah sungguh Maha Baik, memberikan semua yang kita butuhkan, termasuk ilmu dan kesabaran.
"Bila sebatang pohon pun berani tegak berdiri dan bertahan karenaNya, apa yang membuat ragu dan takut itu ada? Merdekalah agar mengerti. Mereka yang terkurung hanya mampu meminta dimengerti dan banyak alasan. Aku tersenyum karena mereka tak mampu tersenyum dan apalagi membuatku tersenyum, sahabat! Tersenyumlah bagi negeri, itu yang mereka takutkan!".
Bandung, 17 Juni 2019
Semangat! Merdeka!!!
Mariska Lubis
Kata orang Belanda hij is niet meer vrij (ia sudah tidak bebas lagi). Sementara kata Filsuf Prusia, Nietzche, How one becomes what one is (bagaimana orang menjadi apa adanya dia). Orang lebih baik menjadi apa adanya dia, bukan dengan menjadi orang lain.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit