OLEH Nasrul Azwar
Asalnya dari keluarga petani di Nagari Salayo, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, sebuah nagari yang dikesankan sebagai etalase kabupaten karena posisi dan keunggulan pertaniannya, yakni penghasil beras solok.
Sosok yang identik dengan peristiwa PRRI bernama Soewardi Idris terkadang menggunakan nama samaran R Baginda SI, Essy, dan Swara Iswari saat memublikasikan tulisannya.
Nama R. Baginda S.I. digunalkan dalam tulisan masalah pendidikan, Essy untuk tulisan masalah kebudayaan, dan Swara Iswari dalam tulisan masalah wanita. Dia lahir di Nagari Salayo, 10 November 1930, meninggal di Jakarta 13 Juli 2004 pada umur 74 tahun. Semasa hidupnya, Soewardi Idris terkenal sebagai seorang wartawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia terkemuka dari Sumatera Barat.
Dalam karier kewartawanannya, Soewardi Idris pernah menjadi pemimpin redaksi majalah sastra "Seriosa" (1954) di Yogyakarta, Wakil Pimpinan Redaksi Harian Nyata di Padang (1956), redaktur majalah Vista sewaktu pertama kali terbit tahun 60-an, dan redaktur mingguan Chas, dan Pemimpin Redaksi Majalah Monitor (1973).
Semasa hidupnya, Soewardi Idris merupakan satu “pilar” dari tiga “pilar” yang dimiliki Sumatera Barat. Kedua “pilar” lainnya ialah A.A.Navis dan Roestam Anwar.
Menurut Wisran Hadi (almarhum) dalam sebuah tulisan inmemoriam mengenang kepergian Soewardi Idris menulis, ketiganya (Soewardi Idris, A.A. Navis, Roestam Anwar) merupakan gabungan kekuatan yang sangat membanggakan Sumatera Barat pada masa itu.
Roestam Anwar anak dari Anwar Sutan Saidi, seorang adalah pengusaha dan aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dia merupakan salah satu dari sedikit konglomerat Indonesia sebelum masa kemerdekaan. Anwar Sutan Saidi lahir pada 19 April 1910 di Sungai Pua, Agam dan meninggal dunia di Padang, 1 Juni 1976 dalam usia 66 tahun.
“Tidak berlebihan kita juluki dengan tiga tali sapilin. Soerwadi Idris dengan Dari Puncak Bukit Talang, A.A. Navis dengan Robohnya Surau Kami, dan Roestam Anwar dengan penerbit dan percetakan NV Nusantara,” kata Wisran Hadi.
Talenta menulis Soewardi Idris mencuat semasa mahasiswa. Kegemarannya membaca mendukung bakat menulisnya. Soewardi Idris belajar menulis secara otodidak.
Soewardi Idris menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) di kampung halamannya di Nagari Salayo (1936). Tamat SR dilanjutkan ke SMP (1947) dan SMA Bagian A di Bukittinggi (1952). Dari tahun 1952-1954, Soewardi Idris kuliah Fakultas Sastra Pedagogik Filsafat, Jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tetapi tak selesai karena dia sudah bekerja sebagai wartawan dan guru.
Talenta dalam kewartawanan dan kepenulisan terus berkembang seiring dengan waktu. Pada tahun 1954, Soewardi Idris dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi Seriosa, majalah bulanan yang fokus pada kebudayaan, redaktur majalah Fantasia di Yogyakarta, koresponden tetap majalah Waktu, mingguan umum yang terbit di Medan, dan wartawan surat kabar Haluan (Padang) tahun 1954-1956.
Selain sebagai wartawan, Soewardi Idris juga sebagai guru di SMA Piri/Bersubsidi, Yogyakarta. Pada 1954 dia kembali ke Padang dan mengkoordinir pengerahan tenaga mahasiswa untuk gerakan PRRI selama Oktober 1954 hingga 1957, sekaligus bekerja sebagai guru tetap SMEA Negeri Padang di samping menjadi guru honorer di berbagai sekolah lanjutan tingkat atas di kota ini.
Sepanjang 1958-1961 Soewardi Idris bergerilya di hutan bersama PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) sebuah gerakan perlawanan kepada Pemerintah Pusat. Soewardi Idris dalam jajaran PRRI, memegang jabatan sebagai wakil kepala penerangan Divisi Banteng dengan pangkat Letnan I.
Dari gerilya di hutan inilah lahir karya sastranya berupa novel berjudul Dari Puncak Bukit Talang yang diterbitkan NV Nusantara pada 1964. Novel itu merupakan satu-satunya novel karya Soewardi Idris yang benar-benar dibahas panjang lebar oleh H.B. Jassin, yang saat itu dijuluk “Paus” sastra Indonesia.
Dalam wawancara dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Soewardi Idris menyatakan, bahwa dirinya satu-satunya pengarang yang menceritakan masalah PRRI. Ia mengaku dirinya sangat erat hubungannya dengan peristiwa PRRI yang sekaligus pelaku dan saksi sejarah.”Novel Dari Puncak Bukit Talang satu novel yang saya tulis bercerita tentang masalah PRRI.”
Karya-karya sastranya berupa cerita pendek yang umumnya mengangkat pergolakan dan perjuagan daerah (PRRI), menurut Wisran Hadi, ditulisnya secara jujur menyebabkan Soewardi Idris tidak mendapatkan publikasi yang layak, baik pada pasca-PRRI maupun pada awal Orde Baru.
Sesudah perang antara PRRI dan APRI/Angkatan Perang Republik Indonesia usai, selamar 2 tahun (1961-1963), Soewardi Idris bekerja di penerbit NV Nusantara, Bukittinggi. Roestam Anwar (anak pemilik penerbit NV Nusantara) sangat berjasa dalam membangkitkan semangat agar Soewardi Idris menulis apa saja.
“Tidak perlu banyak, yang penting masuk buku H.B. Jassin,” kata Roetam Anwar memotivasi temannya itu.
Soewardi Idris adalah anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Idris Datuk Rajo Nan Sati dan Raisah. Dari tujuh bersaudara itu, hanya Soewardi yang bergelut dengan dunia tulis-menulis. Di kaumnya, seorang menyandang gelar adat Datuk Bandaro Panjang.
Setelah kondisi kondusif, pada tahun 1966 Soewardi Idris pindah ke Jakarta dan bekerja di TVRI Pusat. Selama bekerja, dia melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Ekstensi VI, Universitas Indonesia, hingga meraih gelar Sarjana Muda Hukum.
Selain aktif di jurnalistik, Soewardi Idris juga menaruh perhatian pada kebudayaan dan pendidikan. Aktivitasnya yang menonjol dalam dunia jurnalistik mengantarkannya mendapat ganjaran dari PWI Pusat sebagai penulis terbaik bidang sejarah.
Kariernya di TVRI Pusat terus menanjak. Baru dua tahun bekerja di TVRI, Soewardi Idris dikirim ke Australia untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai produksi acara televisi. Pulang dari dari Australia, dia diangkat menjadi Kepala Seksi Penyusun Acara. Kemudian, dari Kepala Seksi dia dipercaya sebagai Kepala Bagian Produksi dan Siaran TVRI Stasiun Pusat Jakarta hingga tahun 1975.
Tahun 1976 Soewardi Idris mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai Television News and Current Affairs di Inggris. Dia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia pada sidang IX ASEAN Committee on Culture and Information di Bandung.
Tahun 1984 Soewardi Idris mengikuti berbagai kegiatan, seperti mewakili TVRI dalam mengikuti sidang Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, mewakili TVRI dalam Advisory Board Meeting on Documentary di Singapura, menjadi narasumber di Asian Institute for Broadcast Development.
Tahun 1985 Soewardi Idris ditunjuk sebagai pemimpin delegasi Indonesia ke festival lagu-lagu pop ASEAN. Dia juga pernah menjadi juri FFI di bidang sinetron. Sebagai karyawan TVRI, Soewardi Idris sering bertugas ke luar negeri, seperti Hongkong, Tokyo, dan Hollywood (Los Angeles).
Setelah pensiun dari TVRI pada awal 1987, Soewardi Idris menjadi kontributor tetap harian Singgalang (Padang) dan penulis lepas. Di samping itu, dia menjadi pengajar bahasa dan jurnalistik di TVRI. Soewardi Idris mengumpamakan pekerjaan mengarang itu laksana mengisi gelas dengan air.
“Kalau tempat air kosong, apa yang dapat diisikan ke dalam gelas itu? Jadi, mengarang itu memerlukan wawasan yang luas dan pengarang harus selalu menambah muatan intelektualnya,” katanya.
H.B. Jassin (1985: 67-68) menyebut Soewardi Idris sebagai pengarang realis karena tidak membagus-baguskan atau menjelek-jelekkan, menambah atau mengurangi lukisan tokoh-tokohnya, tapi sekadar melukiskan apa adanya sebagaimana wujudnya, dalam tingkah lakunya, dalam gerak-gerik jiwanya sebagai manusia. Ajip Rosidi menggolongkan Soewardi Idris sebagai pengarang angkatan 1950-an.
Soewardi Idris sepanjang perjalanan kreatifnya, menghasilkan dua kumpulan cerita pendek, yakni Di Luar Dugaan (1964), Istri Seorang Sahabat (1964) dan satu novel Dari Puncak Bukit Talang (1964). Dua buku cerpen itu diterbitulang penerbit Beranda (Yogyakarta, 2008) dengan tajuk Antologi Cerpen Pergolakan (senarai kisah pemberontakan PRRI).
Selain menulis sastra, Soewardi Idris juga menulis sebanyak 13 buah biografi, tiga buku karya jurnalistik, tiga buku tentang adat dan budaya Minangkabau, tiga buku tentang sejarah dan juga cerita anak-anak.
Bakat menulis dan jiwa jurnalistik Soewardi Idris menurun pada anaknya, almarhum Purnama Suwardi yang meninggal pada pada Rabu, 19 Maret 2014 karena sakit. Jabatan terakhir Purnama Soewardi adalah Direktur Pemberitaan Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Soewardi Idris memiliki 2000 eksemplar novel dan buku-buku lainnya. Dalam peta sastra Indonesia, Ajip Rosodi menggolongkan Soewardi Idris dalam kelompok pengarang periode 1953-1961, meskipun demikian, sebenarnya Soewardi Idris tidak pernah berhenti menulis. (MN)
Sumber Acuan
https://wisranhadi.wordpress.com/2008/11/17/antologi-cerpen-soewardi-idris/
http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Soewardi_Idris
Congratulations @nasrulazwar! You received a personal award!
Click here to view your Board
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @nasrulazwar! You received a personal award!
You can view your badges on your Steem Board and compare to others on the Steem Ranking
Vote for @Steemitboard as a witness to get one more award and increased upvotes!
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit