Pernikahan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan hal yang begitu sakral dan suatu peristiwa penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga sudah seyogiyanya ketika pada saat acara upacara pengesahan untuk hidup bersama dalam rumah tangga dilaksanakan secara besar-besaran. Hampir seluruh adat di Indonesia masyarakat memandang pernikahan sebagai sebuah momen yang secara serius membutuhkan perhatian yang besar. Segala persiapan yang menyangkut tentang pernikahan kiranya dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya oleh keluarga dan sanak saudara kedua mempelai. Aceh misalnya yang mempunyai banyak keturunan dan memiliki multi-cultural justru berakibat pada berbedanya tata cara dan adat dalam pernikahan di setiap daerah.
Tradisi ini pada masyarakat aceh, sekiranya pada tahap pertama calon mempelai laki-laki sebelum ijab qabul untuk berumah tangga dengan wanita yang ingin di persuntingnya terlebih dahulu calon mempelai laki-laki diwajibkan membayar mas kawin lazimnya berupa emas dengan jumlah berat dan jenis emas yang sudah ditentukan oleh kedua pihak keluarga. Kemudian setelah adanya persetujuan dari kedua pihak baru selanjutnya tahap penentuan pelaksanaan acara pernikahan.
Perbedaan adat itu ternyata menimbulkan kegelisahan bagi kalangan muda-mudi Aceh. yang bernada penentangan akan eksistensi adat tingginya mahar. Ini merupakan sebuah realita sosial bahwa tak heran adat kewajiban mahar yang terbilang fantastis, ini menjadi hambatan berarti bagi lelaki untuk menyunting wanita pilihannya. Kerap kita temui, lelaki yang ditanyai kenapa belum menikah? lalu lelaki itu menjawab: Belum cukup simpanan untuk mahar”. Alasan ini pula yang membuat pernikahan terkendala karena tingginya mahar. Padahal dalam Islam pernikahan merupakan sebuah kepentingan yang harus disegerakan yang kemudian menjadi terlambat pelaksanaannya.
Keterlambatan ini menimbulkan efek samping yang akan menjadi bias dengan tatanan masyarakat syariat yang sedang dibangun. Fakta semakin tingginya kasus perzinahan, hamil di luar nikah, dan bertambahnya jumlah laki-laki yang memasuki usia tua tanpa sempat menikah adalah ilustrasi dari fenomena yang terjadi selama ini.
Tradisi tingginya patokan nilai mahar di Aceh karena masyarakat aceh masih terpana memandang mahar sebagai simbol kehormatan dan gengsi keluarga baik dari pihak wanita maupun pihak lelaki. Bagi pihak wanita sendiri, tingginya nilai mahar menunjukkan tingginya kedudukan sosial keluarga siwanita di lingkungan masyarakatnya. Nilai mahar yang menjadi standar adat Aceh bagi seorang wanita adalah sepuluh mayam emas, jumlah nilai ini belum termasuk ke dalam seserahan atau hantaran lainnya yang berupa keperluan hidup sehari-hari si wanita, seperti makanan, pakaian, sepatu, tas, kosmetika dan lain sebagainya.
Sebaliknya, jika nilai mahar seorang wanita di Aceh kurang dari sepuluh mayam emas atau bahkan tidak ada sama sekali, hampir dapat dipastikan menimbulkan anggapan bahwa keluarga wanita tersebut berasal dari kalangan status sosial yang tergolong rendah dan seakan peristiwa itu dapat mendatangkan bencana celaan dari lingkungan masyarakatnya.
Sekalipun nilai mahar ini dapat berubah yang disesuaikan dengan status sosial keluarga wanita yang ditentukan oleh pihak keluarga wanita tersebut. Misalnya, tingkat pendidikan yang di enyam, kemampuan ekonomi, keturunan kebangsawanan, dan kecantikan paras menjadi pertimbangan berubahnya nilai mahar si wanita. Makin tinggi tingkatan variabel yang disebutkan di atas yang dimiliki oleh seorang wanita, maka akan semakin tinggi pula nilai mahar yang ditetapkan keluarganya. Tak heran jika terdengar di telinga kita dari beberapa kisah keluarga wanita yang berasal dari keturunan bangsawan tanpa segan-segan menetapkan nilai mahar bagi anaknya senilai dua puluh mayam emas atau bahkan lebih, maka jika dikonversikan ke nilai mata uang rupiah adalah tiga puluh juta rupiah.
Berbeda pandangan dengan masyarakat jawa, masyarakat yang memiliki sifat giat bekerja ini dalam segi mas kawin itu bukan menjadi sebuah patokan mutlak yang mengharuskan di berikan tinggi oleh calon mempelai laki-laki. Meskipun kedua masyarakat yang berbeda etnik ini umumnya memiliki kesamaan keyakinan dalam sisi keagamaan, namun berbeda pandangan terhadap mas kawin. Masyarakat yang berjasa besar kepada seluruh bangsa Indonesia karena icon budayanya di tingkat nasional, dalam memberikan sumbangan yakni mas kawin terkesan seadanya sesuai dengan kesanggupan calon suami yang ingin melamar wanita itu. Sehingga mayoritas masyarakat jawa dalam praktek penetapan mas kawin itu adalah terlihat bernuansa islami.
Di balik tingginya nilai mahar itu ternyata menempatkan Aceh pada peringkat kedua tertinggi mahar di Indonesia setelah Sulawesi. Mahar di Aceh dinisbatkan pada emas yang di ukur dalam satuan mayam. Satu mayam emas setara dengan berat 3,3 gram. Seperti halnya minyak bumi, emas selalu mengalami perubahan harga sesuai dengan perubahan harga rupiah terhadap dolar. Untuk ukuran emas saat ini, harga satu mayam kurang lebih mendekati satu juta lima ratus ribu rupiah.
Perkara tingginya patokan mahar bagi masyarakat aceh sepertinya perlu dikhawatirkan oleh semua kalangan, sebelum berefek buruk yang berpeluang menimbulkan permasalahan bagi masyarakat aceh. Potensi munculnya niat jahat untuk merencanakan tindakan-tindakan yang bermasalah dengan norma, adat dan bahkan bertentangan dengan hukum duniawi.
Mahar menurut syariah islam
Islam secara teologis merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat Ilahiyah dan transenden. Islam juga agama samawi yang berasal dari wahyu yang kemudian diturunkan dari langit oleh nabi kepada umatnya. Sedangkan dari aspek sosiologis Islam merupakan fenomena peradaban, kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Dengan islam dapat memberikan kenyamanan hidup tiap sendi-sendi kehidupan umat manusia, yang mengatur mulai dari kita lahir hingga sampai pada kematian.
Begitu pula dengan aturan perkawinan, menurut Islam perkawinan dikonsepsikan sebagai jalan untuk mendapatkan kehidupan berpasang-pasangan, tenteram dan damai (mawaddah wa rahmat) sekaligus sebagai sarana pelanjutan generasi (mendapatkan keturunan). Artinya perkawinan bagi umat manusia memiliki makna yang sangat luas, perkawinan bukan hanya mempersatukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan saja, tetapi sekaligus untuk mempersatukan hubungan dua keluarga besar, yaitu kerabat pihak laki-laki dan kerabat pihak perempuan.
Tatkala orang melihat keistimewaan Aceh bagaikan memahami islam, kedua zat ini ibarat tidak bisa dipisahkan, sejarah membuktikan di mata dunia kejayaan islam di aceh pada masa kepemimpinan iskandar muda dahulu kala. Kecemerlangan sejarah di daerah yang dijuluki Serambi Mekkah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem negara khilafah yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar hukum yang mengatur segenap aspek kehidupan manusia. Diantaranya adalah menyangkut dengan Adat mahar di Aceh menjadikan sebuah realita yang menarik untuk diperbincangkan. Sebenarnya dalam ajaran Islam, tidak ada standar minimal jumlah mahar yang wajib diberikan calon suami terhadap calon istrinya. Disebutkan pula mahar terbaik adalah mahar yang paling ringan.
Rasulullah SAW bersabda: sebaik-baiknya mahar adalah yang paling ringan”, dalam hadist lain Rasulullah juga menjelaskan bahwa: pernikahan yang paling besar barakahnya adalah yang paling murah maharnya (HR ahmad). Rasulullah juga mengatakan bahwa wanita yang paling mulia adalah wanita yang meminta mahar paling sedikit dan lelaki yang paling mulia adalah lelaki yang memberikan mahar banyak meskipun diminta sedikit.
Idealnya sabda rasulullah tersebut bisa menjadikan landasan pelaksanaan proses perkawinan dalam setiap kehidupan umat manusia, namun sayangnya harapan dengan kenyataan yang terjadi di Aceh justru sebaliknya, patokan mahar yang semakin tinggi seakan menjadi sebuah prestasi status sosial di masyarakat. Pemberian mahar secara sukarela adalah anjuran syariat islam yang wajib dijalankan sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan sunnah rasul. Namun islam tidak menentukan jumlah mahar yang besar, akan tetapi Islam menganjurkan diberikan berupa benda atau barang yang memiliki nilai berharga dan mahar itu dibayar menurut kesanggupan calon mempelai laki-laki. Sebab manusia itu berbeda-beda tingkat kekayaan dan kemiskinannya. Akan tetapi, ulama sebagai pilar masyarakat juga menganjurkan bahwa agar mahar itu di sederhanakan supaya tidak mempersulit kaum laki-laki sebagai pihak yang melamar kaum perempuan.
Pada hakikatnya, tujuan Islam tidak menganjurkan untuk memperberat mahar itu karena bisa berakibat menyusahkan pihak laki-laki. Seperti kejadian pada zaman Rasulullah SAW ada wanita yang rela dinikahkan dengan mahar seadanya, yang paling ditekankan mahar tersebut memiliki nilai meskipun tidak besar. Sedangkan bentuk mahar dan nilainya bisa saja bermacam-macam. Sejarah Amir bin Rabiah bahwa seorang wanita dari Bani Fuzarah dinikahkan dengan mahar dua buah sendal. Rasulullah SAW bertanya, Relakah kamu dinikahkan dengan mahar dua sendal ini?. Wanita itu menjawab,Ya. Maka Rasulullah SAW membolehkannya. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy).
Kisah yang sama pula terjadi pada Sahal bin Said bahwa seorang wanita datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata, Ya Rasulullah. Aku menghibahkan diriku untuk kau kawini”. Dan berdiri lama hingga seorang laki-laki berdiri, Ya Rasulullah, nikahkan saja dengan aku bila anda tidak menginginkannya. Rasulullah SAW menjawab, Apakah kamu punya sesuatu yang bisa kamu berikan sebagai mahar untuknya?. Saya tidak punya kecuali sarungku ini saja, jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, Kalau kamu berikan sarungmu itu maka kamu tidak punya sarung lagi, carilah yang lain. Tapi aku tidak punya apapun, jawabnya. Carilah meski hanya cincin dari besi. Maka dia mencarinya tapi tidak bisa mendapatkan apa-apa. Lalu Rasulullah SAW berkata kepadanya, Adakah kamu menghafal beberapa ayat dari Al-Quran?. Ya, surat ini dan itu, jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, Aku nikahkan kamu dengannnya dengan mahar berupa apa yang kamu miliki dari Al-Quran. (HR. Bukhari dan Muslim).
Meskipun umumnya masyarakat Aceh mengetahui akan anjuran agama tersebut. Namun ternyata anjuran agama itu tidak dijadikan sebagai acuan dalam pelaksanaan prosesi pernikahan di dalam kehidupannya. Justru syarat untuk membayar mas kawin dengan jumlahnya tergolong tinggi itu sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh yang sering di praktikkan dalam kehidupannya.
Ironisnya, praktik ini sebenarnya sudah berlangsung cukup lama dan seakan tradisi menentukan mas kawin yang tinggi tersebut tumbuh subur dengan sendirinya. Ini dipicu karena masyarakat Aceh masih mengedapankan nilai-nilai tradisionalnya yang kuat meski secara tidak langsung telah mengabaikan landasan pelaksanaan pernikahan yang tidak sejalan dengan anjuran islam.
Hikmah Pemberian Mahar Dalam Islam
Bilamana seorang laki-laki hendak menikah dengan seorang wanita ia harus membayar mas kawin (mahar) sesuai dengan kerelaan wanita yang hendak dinikahinya, meskipun harganya sangat murah. Perkara ini merupakan sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya serta tidak ada perselisihan dikalangan para ulama. Sebagian orang awam apalagi orang membenci Islam menganggap bahwa Islam sangat merendahkan wanita, mereka mengatakan dalam Islam, wanita dianggap sebagai barang yang bisa dibeli dengan harga murah. Padahal tidaklah demikian. DR. Yusuf Qardhawi dalam bukunya Hadyul Islam Fatawi Muashirah menyebutkan ada tiga hikmah di balik pemberian mahar.
Pertama, Menunjukkan kemuliaan wanita, karena wanita yang dicari laki-laki bukan laki-laki yang dicari wanita. Laki-laki yang berusaha untuk mendapatkan wanita meskipun harus mengorbankan hartanya. Karena itu yang melamar atau meminang dalam proses perkawinan adalah laki-laki bukan wanita.
Kedua, Menunjukkan cinta dan kasih sayang seorang suami kepada isterinya, karena mas kawin itu sifatnya pemberian, hadiah atau hibah yang oleh Al-Quran diisitilahkan dengan nihlah (pemberian dengan penuh kerelaan), bukan sebagai pembayar harga wanita sebagaimana yang dikatakan kalangan Barat, Allah Swt berfirman yang artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya (QS 4 : 4).
Ketiga, Menunjukkan kesungguhan, karena nikah dan berumah tangga bukanlah perkara yang bisa dipermainkan. Karenanya tidak bisa seorang laki-laki menikahi seorang wanita, lalu setelah itu dengan seenaknya ia ceraikan kembali untuk selanjutnya mencari lagi wanita lain untuk diperlakukan seperti itu. Kalau orang yang belum menikah saja sudah memberi hadiah/cendera mata kepada calon isterinya untuk menunjukan kesungguhan cintanya. Apalagi semestinya saat dinikahi. Karena itu, bila seandainya perkawinan mengalami perceraian, maka sang suami tidak boleh mengambil kembali mas kawinnya itu, Allah Swt berfirman yang artinya: Dan jika kamu ingin mengganti isteri dengan isteri yang lain (cerai), sedang kamu telah memberikan seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata (QS 4 : 20).
Tinggi maharlah yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian laki-laki, sungguh sangat di sayangkan
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Iya yg jadi masalah buat kaum muda-mudi saat ini
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Harusnya kasus seperti ini harus ada pencerahan, karena dengan seperti ini angka zina terus bertambah setiap tahunnya.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit