Publik perlu di cerahkan. Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) bukan hanya sebatas berbicara tentang politik untuk merebut kekuasaan.
Banyak hal-hal lain yang telah dirumuskan dalam UUPA dan hal itu lebih tersentuh dengan kemaslahatan masyarakat secara umum. Sebut saja persoalan Sumber Daya Alam (SDA) misalnya.
Aceh diberikan kewenangan oleh pusat lewat UUPA untuk mengelola SDA secara mandiri. SDA itu sendiri meliputi; pertambangan, kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan.
Lantas pertayaannya, sejauh mana kewenangan yang telah diberikan tersebut dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh?
Kewenangan dalam pengelolaan SDA diberikan mulai dari tahapan
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya.
Qanun Nomor 6 Tahun 2017 Tentang Kehutanan Aceh. Ini salah-satu qanun yang "harapanya" dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di Aceh, khususnya di sektor kehutanan.
Pertanyaannya kemudian adalah? Se-efektif mana qanun tersebut telah berjalan, atau hanya sebatas tumpukan "coretan-coretan" kertas untuk kemudian dijual sebagi pembungkus cabai atau bawang di pasar.
Qanun ini kalah tenar dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan di Aceh, atau dengan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Bendera dan Lambang Aceh.
Tanpa bermaksud untuk mengurangi substansi dari kewenangan yang telah diberikan oleh pusat "NKRI" kepada Pemerintahan Aceh. Kedua qanun tersebut sarat kepentingan bagi elit politik di Aceh dan sangat rentan dimanfaatkan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu.
Setidaknya, secara umum ada dua puluh enam (26) kewenangan Aceh yang telah di berikan oleh pusat lewat UUPA. Dari ke-26 tersebut hanya sebagian kecil yang telah di respon oleh pemerintah Aceh, dan itupun tidak tuntas.
Ironisnya lagi, dari sebagian kecil yang telah di respon tersebut, hampir semuanya tidak bersentuhan dengan pertumbuhan ekonomi secara langsung. Semuanya lebih kepada qanun-qanun yang dapat dijadikan sebagai bungkusan "alat jualan politik" semata.