Final piala dunia akan selalu dikenang dengan segala cerita yang merenda sejarah. Kisah yang basah dari tawa, sedih dan letupan amarah menjadi narasi yang dikulik waktu. Suatu saat ia akan dimunculkan kembali, sebagai tanda bahwa pernah ada drama dengan sekuel bola dan lapangan hijau di malam puncak.
Stadion Luzhniki nun jauh di Moskow, Rusia sana, semalam (15/7) adalah pusat dari segala tatap seantero dunia tertuju padanya. Stadion yang konon, dalam laporan Dahlan -seorang pewarta Tribunnews melaporkan ada jejak Indonesia, Presiden Soekarno pernah berpidato beberapa saat setelah stadion tersebut diresmikan. Stadion Luzhniki seakan menasbihkan diri sebagai pusat segala sejarah akan dirangkum selama rentetan Piala Dunia 2018 bergulir.
Kroasia dengan segala perjuangan yang melelahkan akhirnya tiba di malam puncak. Negara dengan khas baju taplak meja versi elegan, oleh banyak orang mulanya tak satupun berani bertaruh bahwa mereka akan sampai ke laga final. Sedangkan Perancis, datang dengan harapan yang tinggi. Negara yang terkenal dengan menara Eiffel ini, sedang memasuki fase kematangan dari luberan banyak bintang dengan usia relatif muda.
Nun sebelum piala dunia bergulir, timnas Perancis over kapasitas pilihan. Seakan slot kuota 24 pemain terlalu sedikit untuk menampung generasi lapangan hijau berkostum baju kebanggaan biru-biru navy berlambang ayam jantan. Perancis punya segalanya untuk kemudian menjadi unggulan.
Di antara gugus bintang yang sesak dan kilau mengkilat di tubuh timnas Perancis, ada satu bintang kecil yang sesungguhnya begitu mempesona. Kilauanya mungkin tak benderang eksentrik, tapi cukup mampu membuat siapa saja mengakui keberadaannya. Bintang kecil itu bernama Kante.
Ia hampir tak punya banyak hal yang dapat dijadikan modal untuk dilirik banyak orang. Tak ada dab layaknya Pogba, tak ada kecepatan sekencang Mbape, secara kegantengan Giroud adalah Adam Lavigne nya lapangan hijau. Tapi ada dua hal yang orang tahu, ia punya dedikasi tinggi melampaui pemain manapun, di lapangan hijau, setiap jejak kecil tapaknya seakan menegaskan moto Kemenag; "Ikhlas Beramal".
Boleh jadi, lelaki pemalu ini memandang sepakbola sebagai arena bermain dengan fokus tinggi. Tengoklah setiap inci lapangan, hampir dimana-mana ia ada. Kante memang satu dalam punggawa Perancis tapi peranya vital. Bagi kita, Kante tak ubahnya bentuk keluguan sepakbola. Namun, apa yang ia tunjukk mampu menampik itu, setiap bola di kaki lawan yang ia rebut adalah legacy bahwa perjuangan di lapangan hijau bukan hanya tentang peluit kick off dan hasil akhir. Lebih dari itu, setiap detik adalah kerja keras yang cerdas yang terus harus diupayakan tanpa kehilangan fokus.
Semalam, Kante memang tak bermain penuh. Pelatih Perancis, Deschamps tahu anak asuhnya yang sudah diganjar kartu kuning hari segera ditarik. Bukan karena ia kasar, tapi kegigihan Kante lah yang sewaktu-waktu bisa membuatnya diganjar kartu kuning kedua, merah. Jelas itu merugikan tim. Kante keluar dengan wajah hampir tanpa ekspresi, dari gesture-nya terlihat; standing ovation ada atau tidak bukan masalah. Karena baginya sepakbola hanya tentang menikmati dengan segala keapaadanya.
Pada akhirnya sejarah kemenangan dengan trofi menjadi milik Perancis, Piala Dunia 2018 menemukan sang juara. Di saat gegap-gempita pecah seisi stadion, para pemain Perancis larut dalam pesta campur aduk emosi, Kante hanya tersenyum seadanya. Ia seakan janggal bila harus berjingkrak-jingkrak sedemikian rupa.
Dari parade pesta semalam kita tahu sisi asli yang lain dari dalam diri pemain, tentang tatapan kosong seorang Grizman yang partai final membawa trofi untuk tim yang ia bela, sebelumnya, lelaki mungil ini harus takluk bersama ATM dalam partai final Liga Champions. Kita juga paham, betapa labilnya seorang Pogba dengan segala sisi narsistik akut yang makin hari makin menjadi-jadi, sekalipun kita juga memaklumi, sama halnya dengan amarah yang memuncak tanpa kontrol seseorang bisa kalap, kebahagiaan pun demikian, menyeret Pogba yang sudah kota seakan begitu kampungan. Tapi falsafah "orang menang mah bebas" berhasil menolongnya.
Semua pemain berlomba mengekpresikan kebahagiaannya, mungkin Kante nun jauh di lubuk hati terdalam juga ingin. Apa daya, sifat pemalu yang dibalut tawadhulah yang barangkali segalanya sulit. Satu per satu temannya mengeluarkan ponsel, merekam video, berlari ke arah kamera, dengan bendera di punggung dan saling bergantian memegang piala emas dengan sedikit aksen hijau pada bagian bawah. Kante adalah Kante dengan segala rasa malu dan kepolosan yang melekat padanya. N'Zonzi lah yang kemudian mempersilahkan Kante untuk berfoto 'wajib piala dunia'.
Dari sosok Kante kita belajar, bahwa tanpa berlebihan, caper dan kontroversi kita tetap akan dikenang dan diagungkan banyak orang, kapasitas dan kapabilitas serta dedikasi menjadi saksi dan tak pernah bohong. Kurang lebih 81 ribu malam itu, dari sekitar 87 negara yang datang di malam puncak, bersaksi; dibalik posturnya yang kecil, nyatanya ia besar, dengan segala keagungan dengan kilau bintang yang mungkin tak semenor lainnya, tapi dengan malu-malu semua orang nun jauh di lubuk hati, menaruh hati padanya. Félicitations Kante!