Resensi Buku "Ideologi Kaum Intelektual"
Judul : Ideologi Kaum Intelektual
Penerbit : Free Islamic Literatures dan Mizan
Pengarang : Dr.Ali Syari’ati
Cetakan V : Dzulhijjah 1413/Mei 1993
Oleh : Randi Saputra
jurusan B.Inggris Angkatan 2009
Ali Syari’ati adalah seorang pemikir Muslim kontenporer terkemuka yang meminjam terminology Al-Qur’an beliau bisa disebut juga sebagai Ulil Al-Bab. Kali ini, masih dengan gaya yang memikat dan efektif Syari’ati berbicara tentang kebudayaan, peradaban dan peranan sekelompok orang yang disebut sebagai “Intelektual” di tengah percaturannya. Syari’ati sebagai Muslim mulai dengan menegaskan peran agama sebagai ideology suatu keyakinan yang dipilih secara sadar untuk memberikan respon kepada problem dan kebutuhan masyarakat, bukan sekedar alat untuk melegitimasi status quo.
Sang Ulil Al-Bab lantas menunjuk orang-orang yang bukan ilmuwan, bukan filosof, bukan teknolog tetapi sanggup membentuk kebudayaan dan peradaban. Mereka itulah Intelektual Sejati atau “RAUSHAN FIKR” menurut istilahnya. Ia pun menekankan pentingnya kaum intelektual Muslim yang mencerahkan untuk menghubungkan diri dengan massa, menentang kaum reaksioner dan membangkitkan Islam sebagai agama yang menentang penindasan dan ketidakadilan. Pada akhirnya Ali Syari’ati tak ragu-ragu untuk menempatkan diri sebagai lakon dalam sejarah perlawanan umat tertindas bukan hanya dalam tulisan, tapi juga dalam tindakan. Ia syahid demi kesetiaan pada keyakinannya.
“RAUSHAN FIKR” atau Kaum Intelektual sejati lahir setelah para Nabi tiada untuk menggantikan perannya dalam melanjutkan perjuangan Habil yang harus berani menentang ketimpangan zaman, “mencari cita-cita bersama, menciptakan cinta dan iman yang bernyala di dalam jantung masyarakat tradisional yang korup dan beku” kata syari’ati.
“RAUSHAN FIKR” adalah kata Persia yang artinya “Pemikir yang tercerahkan”. Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intellectual atau free thinkers. Raushan Fikr berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang Raushan Fikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan fakta sebagaimana adanya, Raushan Fikr memberikan penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Raushan Fikr seperti para nabi berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, Raushan Fikr harus melibatkan diri pada ideologi. Sejarah, kata syari’ati dibentuk hanya oleh kaum Raushan Fikr.
Mungkin terjemahan paling tepat untuk istilah Raushan Fikr adalah kaum intelektual dalam arti sebenarnya. Kaum intelektual bukan sarjana, yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh gelar sarjana (asli atau aspal). Mereka juga bukan sekedar ilmuwan, yang mendalami dan mengembangkan ilmu dengan penalaran dan penelitian. Mereka adalah kelompok orang yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskannya dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang, menawarkan strategi dan alternatif pemecahan masalah.
Pada masyarakat Islam seorang intelektul bukan saja seorang yang memahami sejarah bangsanya dan sanggup melahirkan gagasan-gagasan analitis dan normatif yang cemerlang. Kata Syari’ati ia juga harus menguasai ajaran islam, seorang Islamologis. Untuk pengertian ini Al-Qur’an sebenarnya mempunyai istilah khusus yaitu ulil albab yang artinya “Orang-orang yang berakal” di dalam Al-Qur’an juga disebut berkali-kali misalnya : Kritis mendengarkan pembicaraan atau ungkapan pemikiran orang (Q.S. 39:18), Yang sanggup mengambil pelajaran dari sejarah umat terdahulu (Q.S. 12:111), Sanggup sendirian mempertahankan keyakinannya dan tidak terpesona dengan bilangan yang banyak dalam kejelekan (Q.S. 5:100).yari’at
Pada diri Syari’ati, kita melihat sifat-sifat ulil albab. Pada tulisan-tulisannya yang sebagian besar berasal dari ceramah-ceramahnya kita mendengar panggilan untuk ulil albab. Gairahnya mencari ilmu menyebabkan ia belajar bukan saja di ruang kelas. Di luar sekolahnya, ia sibuk belajar bahasa Arab dan Perancis, sehingga sebelum masuk Universitas ia sudah sanggup menerjemahkan buku-buku yang ditulis dalam kedua bahasa tersebut. Pada masa pra-Universitas, ia sudah menunjukkan kedalaman pengetahuan dan kemampuan mengungkapkan pikiran secara jernih dan ekspresif.
Ketika kemudian menjadi mahasiswa fakultas sastra, Syari’ati menunjukkan daya kritisnya. Ia sering berdebat dengan dosen-dosennya. Sebagai ilmuwan, ia membaca buku, hatta buku-buku yang sudah tidak didiraukan lagi. “Aku suka membaca sumber-sumber yang kuno ketika masih mahasiswa tingkat permulaan. Bahkan para mullah tradisional sudah tidak membaca lagi buku-buku yang aku dalami pada masa-masa itu. Mereka menganggapnya kuno, tetapi aku terus juga membacanya” ujar Syari’ati mengenang masa mahasiswanya. Di samping buku-buku islam, dibacanya buku-buku sejarah, sastra, filsafat, sosiologi, dan ilmu-ilmu sosial lainnya.
Sebagai intelektual, ia melatih dirinya terjun mendidik masyarakat. Ia mengajar pada beberapa sekolah mengengah. Intelektual senantiasa merindukan teman, Ia mencari telinga yang mau mendengar. Dengan ilmunya, ia ingin membentuk zamannya. Karena itu Syari’ati juga aktif dalam gerakan politik, setelah kejatuhan pemerintahan Dr.M.Musaddiq. Kegiatannya di luar kampus inilah yang menyebabkan Syari’ati harus menghuni penjara untuk beberapa saat.