Hidup perlu sabar, karena ketergesa-gesaan sering menuai celaka. Awas terhadap suasana penting, agar tak salah bersikap dan bertindak. Pelajarilah tingkah bukuem dan seumilang, dua jenis ikan yang beda bentuk dan tabiat. Bukuem tersegas-gesa, sementara seumilang lebih waspada.
Inilah sebuah cerita fabel, cerita dunia hewan yang penuh pesan moral kepada manusia. Saya tidak tahu siapa yang mengarang cerita ini. Tapi sudah diceritakan turun temurun dalam masyarakat kita. Saya dulu mendengarnya waktu kecil, selepas pengajian malam di rumah Teungku. Sebelum tidur, Teungku selalu bercerita. Isinya selalu penuh petuah dan pengajaran. Termasuk cerita bukuem dan seumilang ini.
Dalam sebuah kontes para ikan di pinggiran kuala, ada perlombaan siapa yang paling banyak bisa mengumpulkan cacing, akan diangkat menjadi raja di kelok sungai antara pertemuan air asin dan air tawar.
Bukuem yang punya perut besar dan berduri itu, dengan lantang mengatakan, ialah yang akan menjadi pemenang. Pasalnya, meski mulutnya kecil, perutnya bisa kembung seperti balon. Jadi ia punya “kantong” untuk menyimpan lebih banyak cacing.
Sementara seumilang tak mau kalah. Sambil memainkan empat kumis panjannya. Ia berkata, mulutnya lebar, ia bisa mengambil banyak cacing, meski perutnya tak bisa kembung seperti bukum, ia punya ruang mulut yang lebar sebagai tempat penyimpanan. Beda dengan bukuem yang mulutnya sangat kecil.
Namun masalahnya adalah, cacing tak ada di muara yang berpasir. Ia hanya ada di pinggir sungai berlumpur. Agar tak hilang muka dengan kawanan ikan lain, bukuem dan seumilang berenang ke arah sungai, mencari cacing sebanyak yang mereka bisa.
Sebelum sampai ke pinggir sungai, satu cacing melayang dan jatuh ke air, agak jauh dari kedua ikan itu. Keduanya saling melihat, mengambil ancang-ancang untuk menangkap, tapi bukuem lebih duluan, ia begitu gegabah. Sementara seumilang memperhatikannya. Ia tak mau langsung mengejar dan menerkam cacing yang tak wajar itu. Karena sejatinya, cacing jarang berada di air, tempatnya di dalam lumpur.
Seumilang ingin memastikan, apakah cacing itu asli atau tidak. Ia sengaja memberi kesempatan pada bukuem untuk mencoba menangkap cacing tersebut terlebih dulu. Bukuem yang berenang dengan kecepatan yang tak biasa itu, langsung menerkamnya. Dalam hitungan detik ia terpelanting ke permukaan dengan mata pancing di mulutnya.
Beruntung, karena bukuem ikan yang tak bisa dimakan, manusia pemancing melepaskannya kembali ke air. Ia segera berenang kembali ke muara, tak lagi melanjutkan pencarian cacing di sungai. Ia benar-benar jera. Pelajarannya, jangan gegabah dalam berindak. Lihat peluang dan pelajari resikonya.
Kembali kepada seumilang, ia dengan sabar berenang ke tepi sungai, menunggu air pasang, karena saat pertemuan air laut dengan air sungai, cacing biasanya akan keluar setengah badan dari lumpur. Saat itulah seumilang memungutnya satu per satu, hingga mulutnya penuh. Pelajarannya, pelajari tabiat dan sifat “mangsa” sebelum berlaga. Pelajari juga kondisi alam dan arenanya. Semoga tulisan fabel ini bermanfaat bagi pembaca.