Saya tidak pernah mengalami momen berbagi kopi seperti ini, apalagi bersama seorang profesor seperti dirinya.
Beberapa waktu lalu suasana begitu cerah seperti biasanya. Matahari dengan kekar memancarkan sinarnya. Panasnya cukup untuk membuat kulit terasa perih. Saya lirik jam digital di tangan kiri , sudah jam 11.10 WIB. Masih tersisa 20 menit lagi sebelum perjumpaan saya dengan Prof Yusny Saby, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry yang juga pernah menjadi rektor di universitas itu. Kami sudah berjanji bertemu di warung kopi Solong Ulee Kareng, Banda Aceh.
Dari Peunayong saya memacu Vixion hingga tiba di Solong . Saya memesan kopi pancoeng (setengah gelas). Tersisa lima menit lagi sebelum kami bertemu. Ini merupakan pertemuan ke sekian kalinya dengan sosok yang begitu istimewa. Profesor lulusan Amerika tersebut selalu tepat waktu. Saya sudah berulang kali memintanya menjadi nara sumber Tabloid Gema Baiturrahman, tempat saya bernaung. Pada pertemuan sebelumnya, ia berkata,”Kita belum pernah wawancara di kampus (UIN Ar-Raniry),” tanya Prof Yusny. “Ya,” jawab saya. “Saya sudah pernah mewawancarai Prof di Masjid Raya Baiturrahman, warung kopi SMEA, di rumah Prof, tapi yang belum di kampus, kenapa ya?” kata saya. sambil tertawa. Mendengar jawaban saya, senyuman menghiasi wajah Prof yang selalu mendakwahkan perdamaian dan persatuan itu.
Tepat pukul 11.30 wib, Prof Yusny datang. Saya sempat terkejut karena dirinya hadir bersama sang istri. Prof Yusny mengenakan kemeja putih lengan panjang, celana kain abu-abu, dilengkapi peci hitam polos di kepalanya. Setelan yang tidak asing. Ketika saya menemuinya, ia selalu nampak rapi dan bersahaja seperti itu. Saya bersalaman dengan Prof Yusny seraya menanyakan kabarnya, “Alhamdulillah, baik,” jawab mantan rektor Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN-red) Ar-Raniry itu.
Setelah duduk sejenak, lelaki bertubuh tegap menghampiri. “Mau pesan apa?” tanyanya sopan. Prof Yusny memesan kopi, sementara istrinya memilih sanger panas (SP). Kata Prof Yusny, akan tiba tamu lainnya, namanya Fadli. Tidak lama kemudian, lelaki yang disebutkan pun datang. Lelaki muda berhidung mancung, kulit kecoklatan, dan irit bicara. Fadli namanya. Ia sedang mempersiapkan pengurusan beasiswa S3.
Prof Yusny, jebolan Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat yang sangat ahli berdakwah. Selama kuliah Philadelphia, Amerika, banyak mahasiswa bahkan warga kulit hitam bekas narapidana masuk Islam. Ia juga dipercayakan sebagai imam tetap Masjid Mekkah Philadelphia, Amerika.
Saat peluncuran buku Yusny Saby “Sang Motivator” di Ruang VIP Gedung AAC Dayan Dawood, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa (30/8/2016), Suraiya IT yang juga jebolan Temple Universitymengatakan, “Mengislamkan warga kulit hitam di Philadelphia adalah jasa Pak Yusny yang tiada tara. Tidak hanya itu, ia juga menikahkan para mualaf dan mengajari mereka tentang Islam. Pak Yusny berdakwah dari penjara ke penjara."
http://aceh.tribunnews.com/2016/08/31/yusny-saby-dari-bugak-ke-philadelphia
Saya menceritakan sekilas apa yang ingin saya tanyakan kepada Prof Yusny. Sebelumnya saya sudah menyampaikannya melalui pesan singkat (sms). Namun saya tetap mengulanginya. Itulah carsaya mewawancarai supaya nara sumber terarah sekaligus mengetahui informasi apa saja yang saya inginkan. Tema besarnya adalah mempersatukan umat dan menghargai perbedaan pendapat.
Prof Yusny menjawab semua pertanyaan saya dengan sangat lugas. Berulang kali mewawancarainya, saya sangat paham Prof Yusny sangat membenci perpecahan umat Islam. “Perpecahan umat Islam hanya akan membuat kekuatan muslim lemah,” tegasnya. Sementara ponsel saya terus merekam tiap bait kata yang meluncur dari bibir Prof Yusny.
Usai wawancara, dengan raut wajah khawatirnya, Prof Yusny bertanya,"Apakah saya pernah menjelek-jelekkan orang lain saat diwawancara? Mungkin saya lupa." Prof Yusny sangat menjunjung persatuan umat.Karenanya ia tidak mau ada yang tersakiti akibat ucapannya.
"Tidak, Prof," jawab saya.
"Syukurlah kalau begitu."
Secangkir kopi
Selama wawancara berlangsung, tak satupun dari bibir kami menyeruput kopi di atas meja. Prof Yusny mulai menarik kesimpulan dari apa yang ia sampaikan. Kami pun menyudahi wawancara itu. Saya menyimpan rekaman. Tidak lupa saya tulis nama file rekaman supaya mudah mencarinya nanti. “Ya sudah, silahkan diminum kopinya. Hari ini sedekah ummi (istrinya),” ujar Prof Yusny.
Alasan Prof Yusny lebih memilih diwawancarai di warung kopi karena membuatnya lebih bersemangat. Prof Yusny sangat menyukai kopi. Terkadang sekali duduk Prof Yusny sanggup menghabiskan dua cangkir. Sementara itu, kopi milik Fadli masih tersisa penuh. “Prof, maaf, saya baru teringat kalau saya puasa,” ungkap Fadli. Prof Yusny langsung menarik kopi dari hadapan Fadly. Prof Yusny tidak ingin membuat Fadli membatalkan puasanya. Niat yang sangat mulia.
“Furqan, ini kamu minum kopinya,” katanya sambil menyodorkan cangkir kopi itu.
“Prof, kalau secangkir lagi saya tidak sanggup,” jawab saya.
“Kalau begitu kita minum berdua”. Prof Yusny kemudian menuangkan kopi itu ke dalam cangkir kopinya yang sudah kosong. Sementara saya langsung meminumnya setengah kopi sisanya dari cangkir itu. Saya tidak pernah mengalami momen berbagi kopi seperti ini, apalagi bersama seorang profesor.
Rasa takjub saya semakin kuat kepada Prof Yusny. Sosok yang sangat menghargai dan memuliakan orang lain. Begitu juga dengan istrinya. Dengan lembut, ia memberikan makanan berbuka puasa kepada Fadli. Perempuan yang mendatangkan kebahagiaan kepada Prof Yusny. Sedangkan Prof Yusny adalah sosok yang artinya kebahagian bagi istrinya. Keriput kedua sosok sudah cukup nampak, juga pancaran cinta kedua suami istri ini. Sungguh saling mencintai dengan ketulusan. Menua bersama cinta sejati.
Sambil menyeruput kopi, Prof Yusny juga menceritakan pengalamannya saat kuliah di Amerika. Katanya, di muslim di Amerika siap memenuhi semua kebutuhannya bila ia menetap di sana. Meskipun demikian, ia lebih memilih pulang ke kampung halaman, Aceh. Sungguh beruntung jika Aceh memiliki orang-orang sepertinya lebih banyak lagi. Dan sungguh disayangkan apabila orang-orang seperti Prof Yusny disia-siakan.
Subhanallah
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Congratulations @furqanzedef! You have completed some achievement on Steemit and have been rewarded with new badge(s) :
Award for the number of comments
Click on any badge to view your own Board of Honor on SteemitBoard.
For more information about SteemitBoard, click here
If you no longer want to receive notifications, reply to this comment with the word
STOP
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit