Bullying, Anak-anak, dan Cermin Kecil Kehidupan Sosial

in hive-103393 •  7 days ago 

IMG_4634.jpeg

Menjadi mahasiswa sosiologi berarti harus siap ketika diminta mengamati setiap warna yang membayang di awang-awang. Harus siap membedah tonggok keadilan di tengah-tengah masyarakat, ketimpangan, hingga hierarki yang tak kasatmata. Agak ganjl rasanya ketika kami mahasiswa sosiologi murni FISIP (catat: bukan FKIP) disodorkan tugas turun lapangan ke sebuah sekolah dasar. Ya, sekolah dasar.

Mula-mula tugas ini terasa janggal tak berjejak. Mata kuliah ini jelas-jelas berakar pada kajian masyarakat secara makro. Stratifikasi sosial, perubahan, dan teori-teori kelas nan rumit. Jadi, ketika kami diminta mengajar pasal bullying di kelas enam SD, wajar jika beberapa dari kami merasa tugas ini melawan arus logika. Tapi, instruksi dosen tetaplah kewajiban.

Siapa pun yang pernah mengenyam pendidikan tinggi pasti tahu bahwa ada tugas-tugas yang eksistensinya hanya Tuhan dan dosen yang memahami. Dengan sedikit kegusaran, saya dan kawan-kawan memutuskan untuk memilih SD Negeri Tanjung Selamat dengan dalih yang sangat pragmatis. Sekolah ini dekat dengan kampus. Pragmatisme memang kerap jadi penyelamat di tengah dependensi waktu dan resources.

IMG_4580.jpeg

Audiensi dengan pihak sekolah berjalan mulus. Tidak ada prosedur administrasi yang berbelit-belit, tidak ada pertanyaan yang menusuk harga diri. Dengan surat pengantar dari prodi, kami berhasil mengunci jadwal mengajar dalam waktu singkat. Semua terasa lancar. Terlalu lancar, bahkan. Birokrasi yang enteng justru terasa canggih karena terlalu jarang terjadi di negeri ini.

Aku sendiri absen saat asesmen dikarenakan kondisi yang kurang sehat. Namun, ketika hari-H tiba, aku diberi beban untuk memberikan materi sosialisasi anti-bullying. Sebagai mantan korban bulllying, aku sangat optimis dengan kefasihanku menyampaikan sesuatu yang pernah kurasakan dulu. Meski masih ada perasaan ganjil yang menyelinap ketika aku berdiri di depan anak-anak kelas enam itu. Hanya 12 orang siswa, tak lebih. Sang guru ikut mengawasi dari belakang.

Kelas enam SD Negeri Tanjung Selamat adalah potret mikro sosial. Mirip dengan terrarium. Dari 12 siswa, aku bisa melihat sekumpulan anak-anak dominan, beberapa yang submisif, dan satu-dua siswa yang termarjinalkan.

Gurunya sendiri (yang duduk di belakang sambil mengawasi) sempat menimpali penjelasanku dengan, “Haa, dengar tu.”

Sepertinya sebuah isyarat bahwa mungkin di antara para siswanya ada pelaku atau korban bullying. Aku pun memperhatikan, ada satu-dua anak yang tampak tidak “belong” ke kelompok dominan.

IMG_4591.jpeg

Menurut deviasi sosialnya Merton, ketika seseorang merasa teralienasi dari norma dominan, mereka bisa memilih menjadi “ritualist” yang patuh tanpa hasrat, “retreatist” yang menarik diri. Dalam kasus ekstrem, “rebel” yang melawan norma itu. Mungkin saja si anak yang menyendiri sedang menyusun narasi devian-nya sendiri.

Sebagai mantan korban bullying, aku tahu persis bagaimana menyampaikan materi ini tanpa terdengar menggurui. Aku berbicara tentang definisi bullying, jenis-jenisnya, dampaknya, hingga cara mengenali tanda-tanda yang sering kali luput dari pengamatan. Di sela-sela itu, aku mencoba menyelipkan humor kecil agar suasana tidak terlalu kaku. Anak-anak ini menyimak dengan antusias (atau setidaknya tampak begitu).

Salah satu temanku membawa kekasihnya sebagai juru kamera. Kehadiran si kameramen—meski tanpa DSLR—menjelmakan dokumentasi kegiatan jadi senada dengan adegan film indie. Aku bahkan sempat bercanda, “Jangan lupa filter warna vintage, biar estetis kalau masuk Tiktok.”

Mengapa kami memilih substansi bullying untuk dibahas? Karena ia adalah benih dari banyak problema sosial yang lebih besar. Korban bullying akan membawa luka emosional hingga dewasa, sementara pelakunya bisa tumbuh menjadi manusia narsistik tanpa empati. Maka berbicara tentang bullying di usia dini bukan hanya penting, tapi juga mendesak.

Tidak semua pengalaman harus masuk akal untuk menjadi berarti. Meski tidak kentara, aku dan kawan-kawan sekelompok tetap belajar banyak dari interaksi dengan anak-anak ini.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Thank you very much for publishing your post in Steem SEA Community. We encourage you to keep posting your quality content and support each other in the community

DescriptionInformation
Verified User
Plagiarism Free
#steemexclusive
Bot Free
Beneficiary✅ steem.amal 10%
burnsteem25No
Status ClubClub5050
AI Article✅ Original (Human text!)
  ·  7 days ago (edited)

Yang perlu kita khawatirkan adalah trauma yang diderita oleh korban bully.. benar tidak Dek?

Benar, karena trauma tersebut tidak singgah satu-dua hari. Kalau tidak ditangani secara profesional, takutnya si korban akan menanggung trauma tersebut sepanjang hayatnya.

Dan yang orang-orang lupa adalah, bullying bukanlah hal yang semata-mata terjadi di sekolah atau di ruang publik saja. Saya menaksir lebih banyak kasus bullying yang terjadi di rumah ketimbang di luar rumah, eheheeh.

Setuju Dek

Terkesan akan tulisan yang menarik ini. Pelaku bullying memiliki mental narsistik tanpa empati. Korbannya pun akan terindikasi tertutup dengan kehidupan yang kejam ini.

Pendidikan bullying cukup dilematik untuk dikabarkan. Pelaku dan korban sebenarnya lingkaran korban dari ketidakpedulian lingkungan atas problema individu yang sedang hadapi. Namun tidak mampu membagikan masalah yang sedang di lalui.

TEAM 1

Congratulations! Your post has been upvoted through @steemcurator03. Good post here should be..

image.png

Curated by : @radjasalman

Sudah jadi guru, terus bimbing anak negeri jangan biarkan bully terus terjadi.