Warung kopi di Aceh bukan hanya sebuah tempat tempat menyeduh secangkir energi dalam bentuk cairan hitam pekat yang meresap hingga ke relung paling dalam. Warung kopi dalam definisi yang lebih umum sering dianggap sebagai tempat di mana orang-orang duduk dengan santai, menikmati kopi pahit sembari mengobrol soal apa saja. Dari harga cabai hingga isu-isu perpolitikan negara (yang entah bagaimana dikaitkan dengan harga bawang dan cabai).
Dahulu warung kopi adalah tempat melepas penat setelah seharian bekerja keras, dan identik dengan pekerja kasar seperti para petani atau buruh. Namun kini warung kopi telah berubah menjadi tempat kerja itu sendiri. Seiring pergerakan zaman, hari ini ia menjelma menjadi sebuah mikro-universum yang menggaungkan denyut nadi kehidupan modern. Fungsinya jadi beragam, di antaranya sebagai empat kerja dan transaksi, ruang diskusi, panggung pertemuan, bahkan ruang sosial fisikal di mana ide-ide bertaut, berbenturan, dan berkembang.
Tidak terelakkan tentunya, karena perubahan ini adalah konsekuensi langsung dari perubahan pola kerja manusia modern. Dulu tidak ada satu manusia pun yang sempat terpikir bahwa “pekerjaan” bisa mencakup hal-hal yang tidak terikat oleh ruang dan waktu seperti kreator konten, freelancer, atau pekerjaan nomad lainnya. Pekerjaan-pekerjaan baru ini cenderung dengan sifatnya yang cair dan fleksibel sehingga kantor fisik konvensional yang formal dan kaku sudah tidak relevan lagi.
Berdasarkan pengalaman saya pribadi, kantor itu bentuknya bisa apa saja, dari kamar tidur sampai warung kopi.
Bagi para pekerja lepas (atau bahkan bagi pegawai pemerintah maupun swasta) yang semakin sering memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya di luar kantor, warung kopi kini bisa dikatakan telah menjadi kantor kedua bagi mereka. Oleh karenanya, di sudut-sudut warung kopi, kita akan banyak menemukan orang-orang yang serius menatap layar laptopnya. Orang-orang yang membiarkan cahaya biru memantulkan bayangan beban kerja yang mesti diselesaikan oleh mereka.
Selain perubahan fungsi warung kopi, kita juga melihat pergeseran signifikan dalam cara masyarakat Aceh menikmati kopi itu sendiri. Dahulu secangkir kopi identik dengan penggunaan gula (yang fungsinya mengimbangi pahitnya kopi itu sendiri). Kini kesadaran akan bahaya gula semakin meluas. Banyayknya penderita diabetes, hipertensi, dan komplikasi-komplikasi lainnya sudah cukup membuat orang-orang berpikir ulang saat menambahkan sendok demi sendok gula ke dalam gelas kopinya.
Saya menduga tren ini mulai berkembang pesat di Aceh pasca tsunami 2004. Masa-masa di mana relawan dari luar datang membawa kebiasaan menikmati kopi hitam murni tanpa gula. Mereka memperkenalkan masyarakat lokal pada esensi kopi itu sendiri, yaitu bagaimana cita rasa alami biji kopi yang tidak perlu ditutupi dengan manisnya gula.
Dalam budaya luar, teh dan kopi kerap disajikan tanpa gula. Kebiasaan ini kemudian diadopsi oleh masyarakat Aceh, terutama kalangan muda yang kini lebih melek akan pentingnya menjaga kesehatan. Ini juga menjadi salah satu alasan mengapa espresso (kopi hitam pekat tanpa gula) semakin populer dewasa ini. Proses penyeduhan espresso menghasilkan cairan kopi murni yang kaya akan rasa, tanpa perlu campuran pemanis.
Bagi saya warung kopi di Aceh adalah tempat yang agak paradoksal. Ia adalah tempat kerja, tapi juga tempat istirahat. Ia adalah simbol kemajuan, tapi juga bisa jadi tanda stagnasi. Di satu sisi, orang-orang datang ke warung kopi untuk bekerja tapi di sisi lain ada yang datang untuk lari dari kerjaan. Ada harga yang harus dibayar ketika kita mengadopsi budaya luar dan meninggalkan sebagian dari akar kita sendiri.
Jadi, apakah peralihan fungsi warung kopi dari tempat istirahat menjadi tempat kerja ini merupakan simbol disrupsi budaya, atau justru justifikasi dari stagnasi ekonomi Aceh. Ingat, saat ini aceh masih konsisten dengan gelarnya sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Upvoted! Thank you for supporting witness @jswit.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you :
Senang melihat anda ada di Komunitas ini Pak, salam terbaik untuk anda.
Verified by : @fantvwiki
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit