Ode untuk Earphone Berkabel

in hive-111300 •  11 days ago 

IMG_4262.jpeg

Malam yang hangat di Banda Aceh. Bagaimana tidak hangat, kebetulan saat itu aku pakai hoodie yang sepertinya berbahan poliester. Double hangatnya, double gerahnya.

Ada yang aneh rasanya ketika pergi ke Gramedia bukan untuk membeli buku, melainkan untuk mencari alat yang menjembatani telingaku dengan audio musik dan siniar.

Di lantai satu, tempat yang biasa kuasosiasikan dengan aroma kertas baru dan rak-rak penuh buku, justru berisi booth alat tulis, mainan, peralatan olahraga, dan salah satunya adalah booth JBL. Lantai satu Gramedia Banda Aceh menjadi tempat bagi mereka yang membutuhkan peralatan-peralatan lazim, meski tidak ada buku sama sekali di dalamnya.

Aku tak datang ke sini tanpa alasan. Earphone-ku yang lama telah menyerah setelah setahun lebih melayani telingaku dengan jernihnya suara. Sialnya, garansi satu tahunnya baru saja habis sebulan lalu, kata mbak SPG (Sales Promotion Girl) yang terlihat lebih sabar dibandingkan aku mendengar kabar buruk itu.

"Kami bisa bantu klaim ke Medan, Kak, tapi ongkir pulang-pergi tidak ditanggung," katanya dengan senyum penuh pengertian.

Ongkir ke Medan? Thank you, tapi aku lebih memilih membeli baru daripada memberangkatkan earphone yang ongkirnya kutanggung sendiri. Ujung-ujungnya, biaya yang dikeluarkan sepadan dengan beli barang baru.

Aku termasuk manusia minoritas yang masih menggenggam erat prinsip bahwa kabel adalah raja. Banyak yang mungkin menganggap pilihanku kuno, tapi aku menyebutnya teguh pendirian. Earphone kabel punya satu keunggulan absolut yang membuatku enggan berpaling. Ya, kualitas suara.

IMG_4257.jpeg

Tidak ada yang mengalahkan kejernihan audionya wire earphone, setidaknya di kelas harga yang bisa dijangkau dompetku. Sebagai pecinta musik biasa, aku tidak memerlukan teknologi aptX atau LDAC seperti yang ditawarkan earphone wireless kelas atas. Kabel sudah lebih dari cukup untuk membawa siniar favoritku ke telinga tanpa kompromi.

Sinyal nirkabel itu rentan terhadap gangguan. Tentu terbayang bagaimana menderitanya mendengar Adele menyanyikan Hello dengan suara mendadak terputus.

Itu sih bukan "Hello from the other side,"

tapi…

"Hello with no connection."

Dengan kabel, aku merasa lebih aman. Tidak perlu khawatir soal baterai yang habis atau perangkat yang tiba-tiba disconnect. Sayangnya kabel ini rentan kusut dan kadang mengundang rasa frustrasi, terutama jika dimasukkan sembarangan ke dalam tas. Tapi, bagiku itu harga kecil untuk mendapatkan suara yang murni.

Kembali ke Gramedia. Aku memutuskan untuk berkeliling sembari menunggu mbak SPG menyiapkan nota pembelian earphone baruku. Di luar, tepat di bagian beranda, ada bazar buku. Buku-bukunya tampak seperti deretan novel lama dan bacaan ringan yang tidak memancing rasa ingin tahu. Aku mendapati diri tanpa minat untuk membuka satu pun dari buku-buku itu. Mungkin karena aku tahu, buku-buku itu akan berakhir menjadi dekorasi di rak.

Kualitas earphone tidak hanya bergantung pada drivernya saja. Ada juga yang disebut frequency response range, yakni rentang frekuensi yang mampu dihasilkan. Earphone kelas menengah biasanya memiliki rentang antara 20 Hz hingga 20 kHz (yang secara teori mencakup seluruh spektrum yang dapat didengar oleh manusia). Tapi apakah semua earphone dengan rentang itu sama? Tidak juga.

Aku juga harus mengakui, di tengah pilihan warna-warni earphone yang ditawarkan, aku tetap memilih yang hitam. Klasik, tidak mencolok, dan lebih tahan terhadap noda. Aku bukan tipe orang yang memedulikan estetika untuk barang seperti ini. Fungsionalitas adalah segalanya.

Ernest Hemingway bilang, "The world breaks everyone, and afterward, many are strong at the broken places."

Earphone-ku rusak, dan aku menjadi lebih kuat (atau setidaknya, lebih sadar akan kebutuhan untuk merawat barang elektronik dengan lebih baik).

IMG_4261.jpeg

Betapa konsumsi kita terhadap barang elektronik semakin intens. Earphone-ku yang lama hanya bertahan satu tahun, dan aku tahu ini bukan semata-mata karena aku ceroboh. Banyak produk elektronik sekarang memang dirancang dengan planned obsolescence.

”Binatang apa lagi itu, fir?”

Planned obsolescence merujuk pada sengaja dirancangnya barang agar tidak bertahan lama, sehingga konsumen terus membeli baru. Tentu, ini adalah realita kapitalisme yang sulit dihindari.

Akhirnya, aku keluar dari Gramedia dengan earphone baru di tangan. Tidak ada buku yang kubawa pulang kali ini, tetapi aku merasa puas dengan pilihan yang kubuat.

Untuk sementara, aku puas dengan earphone baru ini. Mungkin suatu hari nanti aku akan mencoba tren wireless, tetapi untuk sekarang, biarlah kabel ini menjadi jembatan yang menghubungkan telingaku dengan dunia musik yang kucintai.

Jadi, jika anda melihatku di warung kopi dengan earphone kabel terselip di telingaku, jangan menghakimi. Aku bukan kuno, aku hanya setia pada kualitas.

Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

Thank you for publishing a post on the Hot News Community, make sure you :

  1. Join at least #club5050.
  2. Don't plagiarize.
  3. Use original photos or copyright-free images by linking the source.
Description
Action
Verified User✔️
Club Status#Club5050
steemexclusive✔️
Plagiarism Free✔️
AI Article Free✔️
Bot-Free✔️
Beneficiary Rewards
@𝘯𝘶𝘭𝘭 25%
@𝘩𝘰𝘵.𝘯𝘦𝘸𝘴✔️

Verified by : @fantvwiki

Terima kasih cek gu

🙏🏻🙏🏻

TEAM 1

Congratulations! Your post has been upvoted through @steemcurator03. Good post here should be..

image.png

Curated by : @radjasalman