Bahasa yg digunakan oleh jurnalis adalah gaya bahasa efektif, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yg baik dan benar, satu kalimat satu pesan. Saya belajar itu saat jadi reporter radio, satu menit harus tersampaikan semua yg perlu disampaikan, maksimal 90 kata🤦 alm. yon Thayrun yg baik hati itu dengan kejam selalu mengingatkan saya, "kee kalau mau jadi tukang obat gak usah jadi jurnaleh, lojok-lojok aja kalimat kee" 🫣😄
Tidak ada salahnya kan menggunakan bahasa gaul dalam karya jurnalistik, itu disebut gaya bahasa populer, sah dan sesuai zaman. Mana bisa gaya dunia dalam berita dipakai untuk berita headline koran waspada🤦 cuma satu kolom, terus pasang video nonton sendiri??
Naahh.. pleonasm itu seperti ini contohnya, menurut pengertian aku @munaa.
Saya sudah tidak ingin lagi banyak komentar karena saya sudah lama tahu bahwa anda sudah paham maksud saya😁
Ada tengok apa masalahnya? Nah itu pleonasme😁 jadi, seorang jurnalis seperti dirimu akan langsung ngedit sendiri. Sesuatu yg bisa dikatakan dalam 10 kata, demi mencapai target 1000 karakter, tambah2in lah.
Meunan... Kalau majas hiperbol, wajib itu sesekali. PDalam jurnalistik kita tidak selalu menggunakan angka spesifik, tetapi "ratusan, ribuan, belasan" itu bukan hiperbol tapi ya😁
Pleonasme adalah gaya bahasa, sedangkan hiperbol adalah majas. Tidak sama
🤫 Jangan bilang-bilang ya, saya sering gitu.
Selain karena "keterbatasan" kemampuan menggunakan bahasa yang efektif, ada beberapa alasan mengapa saya sering tidak mengikuti kaidah baku dalam menulis.
Pertama, saya biasanya menulis secara "mengalir" saja. Yang namanya mengalir ya seperti air yang kadang bisa kemana-mana tergantung situasi dan kondisi. Setelah selesai, sebenarnya bisa dilakukan editing dan finishing, tetapi lagi-lagi beberapa kondisi menyebabkan editing tidak berjalan sebagai mana mestinya.
Bagi saya, penggunaan diksi SAYA atau AKU akan mempengaruhi hasil tulisan karena terkoneksi dengan suasana batin dan mood dalam menulis. Sehingga ada tema-tema tertentu menggunakan diksi AKU, sementara tema yang lain menggunakan diksi SAYA.
Kedua, Kalau di steemit saya lebih suka gaya penulisan yang lebih santai, tidak kaku dan mungkin lebih bebas. Jadinya kesan yang terasa, suasana lebih hidup dan tidak monoton.
Kalo kita menulis dengan pakem karya ilmiah atau tema-tema "Serius" biasanya orang akan malas untuk membaca, termasuk saya..🤭
Segmentasi yang disasar juga berpengaruh bila menggunakan jenis penulisan. Bila kita menulis dengan bahasa baku dan efektif maka itu akan baik dan bisa dibaca oleh seluruh steemians (global), resikonya ya akan "membosankan" bagi sebagian orang.
Tetapi bila menulis secara "cram-crum", maka hanya bisa "ditangkap" oleh orang-orang tertentu.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Nggak serius aja nggak ada yg baca, apalagi serius?
Saya mantan jurnalis radio, beda dgn jurnalis cetak. Meski pada dasarnya sama harus menulis dgn efektif, cuma beda gaya dikit.
Seperti yg saya katakan, kita pada dasarnya adalah penutur. Penutur bila sudah memulai maka tak sedap bila berhenti, maka begitulah "mengalir" saat menulis. Kadang ada yang mengilir, namun ada pula yg mengulir, mengulur bahkan mengular... Biasa itu, dan wajar-wajar saja.
Kalau enak dibaca, orang pasti minta tambo ciek, kalau tak enak ya skip aja. Di steemit, asalkan tidak ada unsur plagiarism.. gak ada masalah.
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit
Betol 1000% 😁
Downvoting a post can decrease pending rewards and make it less visible. Common reasons:
Submit