Tidak hanya Nyawa dan Harta, Tsunami Renggut Nilai Asli Masyarakat Aceh |

in hive-103393 •  4 years ago 



Gempa dan gelombang tsunami yang mengguncang Aceh serta sejumlah negara pada 26 Desember 2004, tidak hanya merenggut nyawa serta harta benda, tetapi juga menyebabkan hilangnya harta nonbenda seperti nilai-nilai tradisi masyarakat. Pascatsunami juga melahirkan kehidupan hedonisme di tengah masyarakat.

Demikian antara lain pandangan yang mencuat dalam webinar yang digelar Jaringan Kekerabatan Antropologi Indonesia (JKAI) bekerja sama dengan Lingkaran Kerabat Antropologi (Lingka) Universitas Malikussaleh, Senin, (28/12/2020) melalui Zoom Cloud Meeting.

Kegiatan webinar diikuti 100 peserta ini menghadirkan tiga narasumber, yaitu Ketua Majelis Adat Aceh kota Lhokseumawe, Tgk Yusdedi; Ketua Seuramoe Budaya, Zahrul Fadhi Johan; dan Dr Monalisa selaku Ketua Tim Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera.

Webinar ini dilakukan untuk mengingat kejadian dahsyatnya tsunami pada saat itu dan membuat generasi sekarang agar selalu waspada. Acara ini merupakan acara rutin yang dilakukan dan menjadi kegiatan penutup di akhir tahun.

Gempa berkekuatan 9,1 skala Richter mengguncang laut Samudera Hindia 2004 silam. Pusatnya berada di 160 km arah barat, Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh dengan durasi kurang lebih 10 menit. Tiga puluh menit setelahnya gelombang besar setinggi 10-20 meter datang menerjang dengan ganasnya hingga mencapai daratan Afrika.

‘’Ratusan ribu nyawa melayang dalam sekejap dihantam ombak tsunami, musibah tersebut adalah musibah terbesar dan terdahsyat yang pernah terjadi,’’ ungkap Tgk Yusdedi, Ketua Majelis Adat Aceh kota Lhokseumawe.

Ia mengungkapkan, pascatsunami melahirkan perubahan sosial budaya pada masyarakat Aceh di antaranya ada faktor internal seperti pertambahan dan pengurangan penduduk dan juga nilai-nilai asli yang telah banyak hilang. Adapun nilai tersebut bersumber dari para tokoh yang telah meninggal dunia akibat korban keganasan tsunami.

Ketua Seuramoe Budaya, Zahrul Fadhi Johan mengungkapkan faktor eksternal seperti munculnya perilaku-perilaku hedonisme, fenomena pengemis atau peminta-minta di perempatan jalan. Akibat banyaknya bantuan yang diberikan membuat masyarakat menjadi lebih malas untuk bekerja dibandingkan sebelum datangnya musibah tsunami di Aceh. Perubahan sosial pada Masyarakat Aceh pascatsunami bisa dilihat juga dari sisi politik, agama, ekonomi, dan juga kultural.

‘’Marilah kita bangkit dan memahami bahwa tsunami Aceh bukan sebagai kutukan melainkan sebuah bencana alam yang diberikan Tuhan untuk kita sebagai manusia agar bisa mengambil pengajarannya,’’ tuturnya.

Adapun pemateri ketiga memberikan sedikit cara yang dapat kita lakukan terhadap pencegahan tingginya gelombang tsunami yang datang dengan cara membudidayakan mangrove dan gambut.

Dr Monalisa selaku Ketua dari Tim Pakar Jaringan Masyarakat Gambut Sumatera, mengungkapkan tumbuhan akuatik itu memiliki banyak sekali manfaatnya, antara lain untuk pencegahan tsunami dengan gelombang yang tinggi. ‘’Mangrove sendiri bisa mengurangi abrasi. Dampak tsunami akan bisa lebih ditekan jika hutan mangrove masih ada.

‘’Teruslah belajar dan jadikan musibah yang datang menghampiri sebagai pelajaran untuk kehidupan lebih baik,’’ pungkasnya.[tkf]



Authors get paid when people like you upvote their post.
If you enjoyed what you read here, create your account today and start earning FREE STEEM!
Sort Order:  

I remember when this happened, I saw it on television, it was very impressive and devastating, a phenomenon of nature. Human beings sometimes have a hard time assimilating the good, which can be learned from an event like this. Is not easy. Sometimes it takes a long time. I wish all the best for Aceh and the communities that still suffer various kinds of consequences from these events that occurred in 2004, such as those mentioned: socio-cultural changes.

Regards. Blessings.

#onepercent #venezuela #affable